Waktu tercipta dari gerak. Allah menciptakan gerak (karena Ia Penggerak Yang Tak Bergerak). Dari gerak alam Allah menciptakan waktu.
Oleh: Yunizar Ramadhani*)
Kita telah memasuki tahun baru Hijriyah. Disebut juga tahun baru Islam sebab ia menjadi patokan pelaksanaan ibadah ritual dalam Islam. Kita semua sudah mengetahui asal muasal kesejarahan nya, sistem hitungannya, serta nilai-nilainya. Kini tugas kita adalah memaknai tahun baru Hijriyah bagi kehidupan kita, setidaknya setahun ke depan.
Perubahan tahun berarti perubahan waktu. Mengenai waktu yang berubah orang seringkali berkata: “tak terasa sudah setahun berlalu, waktu berjalan begitu cepat”, “nggak kerasa ya kita udah lulus, perasaan baru kemarin daftar masuk kuliah”, “nggak kerasa ya kita udah nikah, rasanya baru kemarin kita jadian”, dan seterusnya, dan seterusnya.
Mungkin ungkapan-ungkapan itu sekedar persoalan logika bahasa. Orang cuma mengaitkan satu peristiwa lampau dengan peristiwa masa kini. Atau benar kata Henry Bergson, filosof Inggris, yang memilah ada waktu objektif dan waktu subjektif.
Tapi soal ungkapan “tak terasa” seperti di atas, seakan menandakan betapa orang dengan mudah mengaitkan satu peristiwa di masa lalu dengan peristiwa di masa kini. Ia melupakan banyak peristiwa yang terjadi di antara keduanya, seakan-akan semuanya itu tak punya makna!
Banyak kejadian selama setahun terakhir tapi mereka terlewatkan begitu saja. Banyak aktivitas dan pengalaman yang terjadi antara baru masuk dan lulus kuliah tapi terasa tidak terlalu berarti. Banyak pula peristiwa dari awal mengikat cinta hingga terjadi pernikahan tapi seakan tak bermakna.
Pada momen “tak terasa” itulah orang membiarkan waktu berlalu begitu saja. Pada keadaan itu hidup mulai kehilangan banyak makna. Mungkin itu yang Howard Stark rasakan di film Avengers: Endgame. Ia terlalu sibuk bekerja hingga lupa menghabiskan waktu bersama anaknya, si kecil Tony, hingga ia berkata: “sebanyak apapun uang yang kamu punya, kamu takkan bisa membeli waktu.”
Sebuah kalimat mutiara Arab menyebut: al-waqt atsman min al-dzahab, waktu lebih berharga daripada emas. Apa yang membuat waktu lebih berharga daripada emas, yang dikejar-kejar manusia selama hidupnya dan menjadi sumber setiap konflik antar umat manusia? Jawabannya, saya kira, bahwa setiap detiknya mengandung makna.
Sekarang kita harus memberi makna, kepada waktu yang kita punya, kepada titik-titiknya. Untuk ini kita butuh pikiran filosofis yang jernih dan renungan yang mendalam.
Dari mana datangnya waktu? Para filosof percaya bahwa waktu tercipta dari gerak. Allah terlebih dahulu menciptakan gerak (karena Ia Penggerak Yang Tak Bergerak). Dari gerak alam Allah menciptakan waktu. Demikian kira-kira al-Kindi, seorang filosof Arab pertama, menyatakan.
Jadi waktu selalu ada bersama gerak. Selama bumi dan benda-benda langit bergerak waktu terus tercipta, lalu lahirlah perubahan-perubahan pada alam. Gerak-gerak tersebut memang akan berakhir dengan kehancuran alam semesta. Pada saat itulah alam yang baru muncul, dimana tak ada lagi waktu dan para makhluk akan kekal bersama-Nya.
Demikianlah para filosof memandang alam semesta. Secara tidak langsung mereka telah mengamalkan ajaran al-Quran, bahwa dengan memandang alam kita akan menemukan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Alam yang begitu besar dan luas disebut makrokosmos. Dan kita manusia adalah bagian dari padanya. Maka kita disebut sebagai alam kecil, atau mikrokosmos. Sebagai bagian dari alam yang bergerak, sudah seyogyanya kita mengikuti gerak alam itu. Jika alam bergerak, alangkah sia-sia jika kita tidak turut bergerak.
Mengikuti gerak alam sebenarnya diajarkan oleh agama Islam. Jika anda menyaksikan siaran langsung ibadah di Masjid Haram di televisi atau di Youtube, lihatlah orang-orang yang sedang melaksanakan Thawaf. Mereka berjalan mengelilingi Ka’bah yang berada di sebelah kiri pundak. Bukankah gerakan mereka terlihat seperti benda-benda langit yang mengelilingi matahari?
Setiap gerak melahirkan perubahan. Siang berganti malam, musim berganti musim. Perubahan, karena itu, niscaya dan tak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri.
Dengan mengikuti alam yang bergerak berarti kita juga akan dan harus terus berubah. Menolak perubahan berarti melawan alam. Percayalah, kemarahan alam begitu dahsyat ketika kita berani berdiam diri saja.
Lalu perubahan macam apa yang harus kita buat dalam hidup? Seorang filosof Muslim bernama Shadr al-Din al-Syirazi, atau yang termasyhur dengan sebutan Mulia Shadra, punya satu teori. Menurutnya, alam memiliki satu gerakan sejati. Ia menyebutnya al-harakah al-jauhariyah (gerakan substansial).
Gerakan substansial adalah gerakan alam yang senantiasa mengubahnya dari bentuk yang sederhana menjadi kompleks lagi rumit, dari keadaan biasa menjadi sempurna. Intinya adalah bahwa alam bergerak selalu menuju kesempurnaan. Mungkin ini terdengar seperti teori evolusi. Tapi evolusi Mulia Shadra jelas berbeda dengan evolusi yang menghebohkan itu.
Menariknya teori gerak substansial mendapat dukungan al-Quran. Allah menyebut bahwa semula alam ini satu lalu Ia pisahkan (QS. al-Anbiya’: 39). Teori Big Bang dalam Fisika juga bersorak. Alam berawal dari satu materi tunggal, lalu suatu energi yang sangat besar membuatnya meledak, dan daya ledak itu sampai saat ini belum hilang hingga alam terus berekspansi.
Jadi alam bergerak menuju kesempurnaan. Demikian pula gerak para mikrokosmos, hendaknya selalu menuju kesempurnaan. Lalu kesempurnaan dalam ranah apa? Teori gerak substansial Mulla Shadra sebenarnya bukanlah teori kosmologi semata. Targetnya adalah rohani kita.
Gerak substansial alam semesta merupakan inspirasi bagi gerak alam spiritual. Karena itulah Mulla Shadra mencetuskan gagasan empat tahapan perjalanan Rohani yang ia sebut al-asfar al-arba’ah. Rohani kita yang bergerak menuju sempurna, secara langsung maupun tidak, akan berdampak pada sisi lahiriah kita.
Apabila sebelumnya kita bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, maka kini tugas-tugas hendaknya kita laksanakan demi kepentingan seluruh masyarakat. Apabila sebelumnya kita berorganisasi demi mendapatkan kehormatan di mata manusia, kini kita bekerjasama untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan itu.
Bagi para siswa dan para santri, apabila sebelumnya menuntut ilmu demi ijazah, atau sekedar memenuhi tuntutan sosial, kini belajar tiada lain adalah untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, hamba Allah yang Ia yakini mampu mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Memang sebagai makhluk kecil di tengah alam raya yang luas, kesempurnaan tampak mustahil bagi manusia. Namun karena gerak itu bersifat substansial, bergerak menuju kesempurnaan merupakan “takdir” yang harus setiap manusia jalani. Karena itulah para filosof menyebut manusia bukanlah makhluk “yang jadi” (to be), melainkan “yang menjadi” (being).
Kini tahun yang baru telah tiba. Kita masih mendapatkan kesempatan untuk bergerak menuju sempurna. Langkah dan pilihan kita dalam mengarungi satu tahun ke depan akan menentukan apakah kita akan menemukan makna dalam waktu.
Kebetulan tahun baru kali ini berangka cantik, 1444. Semoga tahun ini menjadi tahun yang cantik juga, kayak kamu.[]
Coretan kecil ini disadur dari ceramah saya di malam tahun baru 1444 Hijriyah di hadapan santriwati Ponpes Darul Hijrah Putri Martapura, Jumat 29 Juli 2022. Dimodifikasi sana-sini untuk penerbitan ini.
*) Penulis adalah pengajar di Ponpes Darul Hijrah Putri Martapura, STIT Darul Hijrah Martapura, Pengurus LTN PCNU Kab. Banjar.