Dalam film Transformers ada satu kalimat dialog terbaik sepanjang masa. Bagi orang beriman, syahadatain adalah kalimat terbaik sepanjang hidupnya.
Oleh: Yunizar Ramadhani*)
KEBANYAKAN kita pasti sudah pernah menonton Transformers (2007). Dalam film aksi pertarungan antar robot-robot alien itu ada satu kalimat dialog yang bagi saya merupakan kalimat terbaik sepanjang masa yang pernah termuat dalam film.
Ceritanya bermula ketika Sam Witwicky (diperankan Shia Le Bouf) membeli sebuah mobil. Bermodalkan mobil itu ia berusaha menarik hati gadis pujaannya, Mikaela (diperankan oleh Megan Fox). Usaha Sam berhasil membuat si gadis bersedia naik mobil itu.
Suatu malam Sam dan Mikaela mendapati mobil Sam yang berwarna kuning itu berubah bentuk menjadi robot bernama Bumblebee. Rupanya Bumblebee adalah salah satu anggota Autobots, pasukan tentara robot penjaga perdamaian asal planet Cybertron.
Dipimpin oleh Optimus Prime, Autobots datang ke bumi untuk menghadang pasukan robot jahat, yaitu Decepticon yang dipimpin oleh Megatron. Decepticon ingin merebut sebentuk kubus (The Cube) yang terlempar ke bumi. The Cube berisi sumber energi super kuat yang bisa menciptakan robot-robot perubah bentuk (transformers), sehingga dengan kubus itu Decepticon bisa menambah jumlah pasukannya.
Singkat cerita, Autobots berhasil mendapatkan The Cube. Decepticon yang mengetahui hal itu segera menyerang Autobots sehingga perang antar robot luar angkasa akhirnya pecah. Decepticon hampir berhasil mengalahkan Autobots. Dalam keadaan terdesak Optimus Prime menginstruksikan pasukan Autobots agar segera mengamankan The Cube.
Namun satu-satunya cara untuk membawa kabur The Cube adalah dengan membawanya ke atas sebuah gedung yang cukup tinggi. Tugas berbahaya itu dibebankan kepada Sam yang juga ingin menyelamatkan sahabatnya, Bumblebee, dan rekan-rekan robotnya dari kekalahan.
Pada momen inilah kalimat dialog terbaik itu muncul. Mikaela menghampiri Sam yang sudah siap berangkat dengan The Cube di pangkuannya. Mikaela mendekat ke wajah Sam lalu berkata: “Sam, apapun yang terjadi, aku bahagia naik mobil itu bersamamu.”
Gila! Itu kata yang muncul di benak saya ketika jalan cerita film sampai pada titik itu. Waktu pertama kali menonton Transformers, kalimat itu membuat saya memegang kepala dengan penuh ketakjuban. Ketika film berakhir saya pun membaca daftar nama-nama kru pembuat film. Seandainya bisa bertemu langsung, saya ingin sekali menyalami Ron Friedman, sang penulis dialog.
Bagi saya itu adalah kalimat dialog terbaik sepanjang masa, setidaknya sampai sejauh ini. Ia memang kalimat sederhana tapi maknanya begitu dalam, mendekap pikiran dan perasaan. Mengapa demikian? Karena saya mengikuti jalan cerita film, meresapi konteks yang membentuk makna kalimat itu. Bagi yang tidak mengikuti jalan cerita dan tidak mengetahui konteksnya akan menganggap itu cuma kalimat dialog biasa.
Jadi makna lahir berdasarkan konteks. Suatu kata atau kalimat hanya bermakna jika sang subjek mengetahui, memahami, bahkan mengalami latar belakang penggunaan kata atau kalimat. Bahasa, karena itu, adalah keseluruhan pengalaman subjek tentang realitas (Arab: al-waqi’). Dalam komunikasi, makna akan berpindah dari pembicara kepada pendengar ketika pembicara mampu memberikan pengalaman tentang realitas yang melingkupi ucapan-ucapannya kepada pendengarnya.
***
Bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kalimat terbaik adalah Syahadatain. Kedua kalimat itu mengandung penyaksian (syahadah) dari pengucapnya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Ia adalah kalimat yang punya kekuatan besar untuk menyelamatkan seorang hamba dari jilatan api neraka dan abadi bersama Sang Pencipta. Karena itulah, kita acapkali berdoa agar kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang kita ucapkan saat tutup usia.
Namun dua kalimat syahadat tidak akan memiliki kekuatan ketika makna yang ia kandung belum kita alami sebagai realitas. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, kita harus mengalami bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah itu benar dan riil, nyata adanya, bukan sekedar ucapan belaka.
Itulah syarat bagi suatu penyaksian. Kita bersaksi matahari itu nyata karena kita punya pengalaman tentangnya: melihat wujudnya, merasakan kehangatan cahayanya di tengah dinginnya suhu udara, bergembira ketika kehadirannya menyusun siang yang menggantikan malam gulita.
Begitu pula kita bersaksi akan keesaan Allah dan Muhammad utusan Allah karena kita mengalami realitas itu: “melihat” wujud-Nya, merasakan kehangatan bimbingan Tuhan dan memahami tuntunan Nabi Saw dalam menjalani hidup, serta bergembira akan hadirnya iman dalam jiwa.
Tentu saja pengalaman semacam itu tidak mudah kita raih. Untuk mengalaminya kita memerlukan pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Pikiran dan hati seperti itu hanya bisa kita capai melalui suatu latihan (riyadhah) yang sungguh-sungguh. Namun demikian, jika Realitas Sejati itu hadir dalam pengalaman kita, ia akan memberi makna dalam kehidupan.
Seperti halnya terhadap matahari, penyaksian itu memberi makna. Dengan meresapi makna akan hadirnya matahari, kita kemudian beraktivitas dan mencari rejeki dan kemuliaan di siang hari, merencanakan masa depan berdasarkan perputaran bumi mengelilingi matahari.
Demikianlah perumpamaan syahadatain yang memandu segala pikiran, perasaan dan perbuatan kita. Kita meresapi maknanya dan hidup berlandaskan penyaksian akan keesaan Allah dan ketaatan terhadap Rasul-Nya. Jika sudah demikian, syahadatain-lah yang akan menuntun kita melewati gerbang kematian.
Syahadatain bukanlah password yang jika kita ucapkan akan membuka pintu surga secara otomatis. Syahadatain adalah keseluruhan pengalaman kita tentang Realitas Sejati. Itulah mengapa syahadatain merupakan kalimat terbaik yang terucap dari lisan seorang yang beriman.[]
*) Penulis adalah Guru di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri dan STIT Darul Hijrah Martapura, pengurus LTN PCNU Kabupaten Banjar