Imam Hanafi memiliki beberapa fatwa unik. Disebut unik karena bertentangan dengan Imam Syafi’i dan dari sudut pandang Mazhab Syafi’i bahkan terkesan kontroversial.
Oleh: Yunizar Ramadhani*)
Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit atau dikenal dengan Imam Hanafi adalah seorang faqih (ahli Fiqih) terkemuka. Lahir di Kufah (Irak) dan wafat di Baghdad pada 767 M, Imam Hanafi tersohor sebagai pemuka mazhab fiqih atas namanya: Mazhab Hanafi.
Ciri khas mazhab ini adalah kecenderungannya mengandalkan nalar dan logika dalam pengambilan keputusan-keputusan hukum syariat. Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Islam yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam (2018: 14) menyebut madzhab ini juga banyak mengulas al-fiqh al-iftiradhiy, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka andaikan terjadi di masa depan.
Quraish Shihab juga menyinggung bahwa mazhab Hanafi tersebar sangat luas di daerah Asia Selatan, yakni di Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, Maladewa; Mesir bagian utara, separuh Irak, Syiria, Libanon, sebagian Palestina dan daerah Kaukasia (Chechnya dan Dagestan). Sementara mayoritas – jika tidak menyebut semua – umat Islam di Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i.
Imam Syafi’i sendiri baru lahir dua tahun setelah Imam Hanafi wafat (768 M). Dibanding Mazhab Hanafi yang mengandalkan akal, ra’y, atau nalar rasional, mazhab Syafi’i berpijak pada sunnah Nabi Saw yang termuat dalam Hadis-Hadis untuk mengambil keputusan hukum.
Dengan demikian, hukum syariat yang dihasilkan dari penggunaan nalar telah berlaku sebelum lahirnya mazhab Syafi’i. Fazlur Rahman dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban (terj., 2017: 104) menyebut bahwa Imam Syafi’i adalah “ahli hukum pertama yang mencetuskan dasar-dasar hukum pada abah ke-2 H/ 8 M”.
Imam Syafi’i juga “menggugat metodologi yang ada dan menyerukan agar hukum menerima Hadis secara massal”. Pengaruh seruan tersebut begitu besar, sehingga menginspirasi lahirnya apa yang Fazlur Rahman sebut dengan “ortodoksi Islam” menjelang akhir abad ke-3 H/ awal abad ke-10 M.
Meski begitu, mazhab Hanafi tetap bertahan hingga saat ini. Mazhab Hanafi juga diakui sebagai salah satu mazhab fiqih golongan Sunni, di samping Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Menurut Yusuf al-Qardhawi (wafat 2022), seorang ulama dan pemikir muslim terkemuka, fatwa-fatwa Imam Hanafi lebih cocok dengan keadaan saat ini dan harus dipilih dan diaplikasikan (lihat Tariq Ramadan dalam Teologi Dialog Islam-Barat [terj., 2002: 116]).
Maka menarik kiranya untuk mendedah fatwa-fatwa Imam Hanafi untuk melihat hukum-hukum syariat yang dihasilkan dari upaya penalaran. Tentu hukum-hukum dan metode tersebut terasa asing bagi kita muslim Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i. Namun demikian, fatwa-fatwa Imam Hanafi akan sedikit-banyaknya memberikan gambaran bagaimana umat Islam sebelum Imam Syafi’i menjalankan syariat agama.
Berikut ini kami sajikan beberapa fatwa unik Imam Hanafi. Disebut unik karena bertentangan dengan fatwa-fatwa Imam Syafi’i yang selama ini kita ikuti, sekalipun dalam banyak masalah fiqih lain keduanya punya kesepakatan. Dari sudut pandang mazhab Syafi’i beberapa fatwa Imam Hanafi bahkan terkesan kontroversial.
Beberapa fatwa unik Imam Hanafi ini kami sadur dari kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, seorang Hakim Agung di Andalusia yang juga seorang filosof terkenal. Bidayatul Mujtahid itu sendiri adalah kitab fiqih yang menyajikan secara proporsional pelbagai pendapat para fuqaha dalam setiap bahasan masalah.
Niat Bukan Syarat Sah Wudhu
Imam Hanafi, bersama-sama dengan Imam al-Tsauri, menyatakan bahwa niat bukanlah syarat sah wudhu. Wudhu tidak perlu didahului dengan niat khusus, seperti halnya salat, puasa dan ibadah-ibadah ritual lainnya. Fatwanya ini berbeda dengan Imam Syafi’i yang menyatakan wudhu harus didahului dengan niat khusus.
Argumen Imam Hanafi dalam masalah ini adalah bahwa wudhu bukanlah “ibadah mahdhah”. Ibnu Rusyd menjelaskan yang dimaksud ibadah mahdhah adalah ibadah yang tidak dapat dinalar maknanya (ghairu ma’qulat al-ma’na), seperti salat. Sementara “ibadah bukan mahdhah” adalah ibadah yang maknanya dapat dicerna oleh pikiran awam, seperti membersihkan najis dan lain-lain.
Sebelumnya ada kesepakatan ulama bahwa setiap ibadah mahdhah membutuhkan niat, sedangkan ibadah bukan mahdhah tidak membutuhkan niat. Masalahnya, wudhu memiliki sifat-sifat yang di satu sisi menunjukkan ia termasuk ibadah mahdhah dan di sisi lain termasuk ibadah bukan mahdhah. Wudhu mengandung makna ritual di satu sisi, dan di sisi lain bertujuan untuk kebersihan – dalam kitab-kitab fiqih materi wudhu masuk dalam bab thaharah atau bersuci.
Perdebatan para ahli hukum dalam masalah ini berkisar pada manakah sifat yang paling menonjol: sifat ritualnya ataukah sifat kebersihannya? Pandangan Imam Hanafi nampaknya lebih berat kepada aspek kebersihan dari wudhu. Akhirnya, wudhu dianggapnya ibadah bukan mahdhah yang tidak membutuhkan niat.
Jika wudhu lebih cenderung kepada aspek kebersihan dan karena itu niat bukan syarat sahnya, maka apabila badan sudah bersih, setelah mandi biasa sehari-hari misalnya, anda bisa langsung melaksanakan salat tanpa harus berwudhu seperti biasa!
Salat Wajib Sehari-Sehari Ada Enam
Umumnya kaum Muslim telah mengetahui bahwa salat adalah kewajiban istimewa bagi mereka. Istimewa karena selain perintah salat diwahyukan langsung oleh Allah kepada Nabi Saw tanpa perantaraan Jibril, Nabi Saw sendiri dalam sebuah Hadis menyatakan salatlah yang membedakan seorang Muslim dengan non-Muslim.
Namun demikian, para fuqaha berbeda pendapat mengenai jumlah salat wajib sehari-hari. Kebanyakan ulama seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan salat wajib ada lima, sebagaimana sudah dimaklumi semua Muslim. Namun Imam Hanafi beserta murid-muridnya berfatwa ada enam salat yang wajib dikerjakan setiap harinya. Selain salat yang lima waktu, Imam Hanafi menambahkan satu salat wajib lagi, yaitu salat witir!
Akar perbedaan pendapat dalam masalah ini sebenarnya sederhana, yaitu Hadis-Hadis Nabi Saw yang terlihat bertentangan. Penting kiranya untuk dimaklumi bahwa al-Qur`an menyebutkan macam-macam salat wajib secara terpisah. Kesimpulan tegas mengenai salat apa saja yang wajib itu didapat dari Hadis Nabi Saw.
Di satu pihak ada kelompok Hadis yang menegaskan salat lima waktu. Hadis yang paling gamblang di pihak ini adalah Hadis tentang peristiwa Isra-Mi’raj. Selain itu ada pula Hadis yang menceritakan seseorang bertanya pada Nabi Saw tentang apakah Islam itu. Nabi Saw menjawab: “lima salat pada siang dan malam hari.”
Sementara di pihak lain, terdapat kelompok Hadis yang memberitakan Nabi Saw mewajibkan salat witir. Di antaranya Hadis dari ‘Amru ibn Syu’aib, Hadis dari Haritsah ibn Hudzafah dan Hadis dari Buraidah al-Aslamiy. Dua Hadis pertama menyebutkan bahwa Allah menambahkan satu salat lagi, yaitu witir. Pada Hadis yang ketiga Nabi Saw bahkan memperingatkan yang tidak salat witir “bukan termasuk golongan kami”.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kelompok Hadis tentang kewajiban witir tidak memiliki kekuatan untuk menghapus (naskh) Hadis-Hadis salat yang lima. Hadis Isra-Mi’raj bahkan memuat dialog ketika Allah dengan tegas berkata: “(salat) itu lima, senilai lima puluh salat dan perkataan ini tidak tergantikan.”
Adapun Imam Hanafi mengakui kekuatan kelompok Hadis kewajiban witir, setara dengan Hadis-Hadis salat yang lima. Walhasil, salat witir hukumnya wajib bersama-sama dengan yang lima waktu.
Seorang Gadis Berhak Menentukan Pernikahannya
Seorang ayah tidak boleh memaksa anak gadisnya menikah. Ayah harus menunggu persetujuan anak gadisnya agar pernikahan menjadi sah. Jadi, seorang gadis punya hak menentukan kapan dan dengan siapa ia menikah. Demikian fatwa Imam Hanafi.
Keputusan hukum ini mungkin terdengar sangat bersahabat dengan tata nilai masyarakat kita saat ini. Dalam masyarakat modern hak-hak setiap individu, baik berlatar ras, suku, bangsa, agama maupun gender, diakui secara setara.
Akan tetapi fatwa Imam Hanafi tersebut keluar 13 abad yang lalu. Beberapa dekade setelahnya hadir Imam Syafi’i yang justru membatasi hak-hak perempuan. Bagi Imam Syafi’i seorang ayah berhak memaksa anak gadisnya menikah. Ini juga berarti seorang gadis tidak memiliki hak untuk menentukan pernikahannya. Karena itulah dari sudut Imam Syafi’i, fatwa Imam Hanafi menjadi unik.
Argumen fatwa Imam Syafi’i bersumber dari sebuah Hadis yang difahami sebagai dalil al-khithab. Dalam ilmu Ushul Fiqih dalil khithab disebut dengan istilah mafhum mukhalafah, yakni makna yang berlawanan dengan makna lahir dari suatu pernyataan. Misalnya, pernyataan “seluruh santri pesantren beragama Islam” mengandung makna “yang tidak beragama Islam pasti bukan santri”.
Hadis dimaksud adalah yang berasal dari Ibnu ‘Umar dimana Nabi Saw bersabda: “tidaklah perempuan yatim dinikahi kecuali dengan persetujuannya.” Berdasarkan dalil al-khithab atau mafhum mukhalafah, Hadis tersebut difahami sebaliknya, yakni “perempuan yang punya ayah dapat dinikahi tanpa persetujuannya.”
Selain itu, Imam Syafi’i juga berdalil dengan Hadis dari Abu Musa dimana Nabi Saw berkata: “perempuan yatim diperintah oleh dirinya sendiri.” Dengan mafhum mukhalafah Hadis ini bermakna “perempuan yang punya ayah diperintah oleh orang lain”, yakni ayahnya. Hadis ini juga sepertinya mengetengahkan status perempuan dalam keluarga. Jika punya ayah, maka ia dalam kuasa ayahnya.
Sementara Imam Hanafi berpijak pada Hadis lain yang difahaminya sebagai dalil al-‘umum atau landasan hukum yang bermakna lugas. Hadis dimaksud berasal dari Ibnu ‘Abbas yang Nabi Saw bersabda: “ayah meminta persetujuan anak gadisnya (untuk dinikahkan).” Hadis ini dengan lugas menyatakan seorang ayah tidak boleh memaksa anak gadisnya menikah. Dalam arti lebih luas, persetujuan seorang gadis diakui sebagai syarat sah nikah.
Ibnu Rusyd yang mendedah perdebatan ini dalam Bidayatul Mujtahid nampaknya berpihak pada fatwa Imam Hanafi, padahal konon ia sendiri bermazhab Maliki yang dalam masalah ini mengeluarkan fatwa yang sama dengan mazhab Syafi’i. Argumennya adalah bahwa dalil al-‘umum lebih kuat dari dalil al-khithab.
Sekali lagi, di tengah tata nilai yang berkembang saat ini, fatwa Imam Hanafi nampak relevan. Fatwa tersebut memberi kesan Imam Hanafi membela hak-hak perempuan. Meski begitu, kita tidak dapat terlampau optimis terhadap Imam Hanafi. Itu karena dalam persoalan perempuan janda yang belum baligh, Imam Hanafi dan Imam Malik berfatwa ia boleh dipaksa menikah oleh ayahnya, sementara Imam Syafi’i menyatakan tidak boleh.[]
*) Penulis adalah Guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri, pengurus LTN PCNU Kab. Banjar.