
Foto Ilustrasi. Sumber: SC www.infaqku.com
Albanjari.com, Martapura – Ketika para petani tak pernah sunyi dari seruan untuk mengeluarkan zakat, para konglomerat pemilik pertambangan batubara -dan selain batubara- justru sunyi dari seruan zakat.
Ketimpangan zakat yang nyata akibat fanatisme pada satu pendapat saja. Bagi petani, untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal mereka harus berjuang keras, mulai proses penyiapan bibit, menanam, perawatan, hingga panen. Berbeda bagi pelaku pertambangan, hanya perlu menyediakan alat-alat lalu tinggal mengambil hasil bumi yang sudah tersedia.
Kewajiban zakat seakan hanya menyentuh rakyat biasa. Berbeda bagi pemilik pertambangan yang konon penghasilan setiap harinya –bukan perbulan atau pertahun- hingga mencapai di angka miliaran.
Kita tahu, batubara hingga kini masih menjadi bagian terbesar dalam bauran energi nasional, menyuplai sekitar 67% kebutuhan listrik domestik. Pada tahun 2023, sektor ini menyumbang lebih dari seratur triliun ke kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (Juanda Volo Sinaga, 2024).
Sektor pertambangan memang menjanjikan pertumbuhan. Tetapi bagi banyak komunitas yang tinggal di sekitar lokasi tambang, sebut saja seperti di Kalimantan, pertumbuhan itu terasa jauh. Sementara perusahaan menikmati keuntungan besar dan negara memperoleh pemasukan stabil dari tanah yang terluka. Akibatnya, masyarakat lokal merasa terbebani karena kerusakan alam dan ancaman kesehatan.
Belum lagi persoalan ketimpangan sosial yang lain. Para tokoh-tokoh agama di kawasan tersebut selalu menggaungkan nasihat-nasihat sabar, zuhud, dan sejenisnya. Hasil pertambangan hanya terkhusus pada emas dan perak. Mereka lupa menggaungkan bagaimana fikih lingkungan itu diterapkan, bagaimana pendapat dari empat madzhab yang telah menetapkan hasil pertambangan non emas dan perak juga wajib mengeluarkan zakat.
Jika kita melihat dari pandangan madzhab Hanabilah, zakat ma’din (pertambangan) dikategorikan dengan seluruh hasil yang bermuara dari perut bumi, baik itu benda cair ataupun benda padat. Senada dengan itu, dalam madzhab Syafii sebenarnya juga menkategorikan zakat pertambangan merupakan hasil dari perut bumi selain emas dan perak, tetapi pendapat tersebut berada di tingkat qiil atau dianggap lemah. Semua itu didasari dari dalil Al Quran yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan segala dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah: 267)
Dari ayat di atas Allah Swt telah memerintahkan bagi para orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan zakat dari hasil pekerjaan mereka, dan juga dari hasil pertambangan. Di antara tujuannya adalah agar orang-orang kaya juga memiliki empati terhadap mereka yang belum mampu dari segi ekonomis.
Memperhatikan Hadist Nabi Muhammad Saw ketika mengutus Sahabat Mu’az bin Jabal ke Yaman:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا اِلَى الْيَمَنِ – فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ – وَفِيْهِ: اَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ. (متفق عليه)
Artinya, “Bahwasanya Allah Swt telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka dari orang-orang kaya, lalu diserahkan untuk fakir miskin.”
Dari hadits tersebut sudah sangat jelas, bahwa zakat juga diperuntukkan kepada para konglomerat untuk saling berbagai kepada masyarakat yang belum mampu secara ekonomis.
ولأن من مقاصد الزكاة إغناء فقراء المسلمين، وتوطيد دعائم المحبة والإخاء بين أفراد المجتمع المسلم،
Artinya, “Dan termasuk tujuan zakat adalah memberikan kecukupan untuk fakis miskin orang Islam dan mengokohkan pondasi rasa kasih sayang di antara orang-orang Islam.” (Amin bin Abdullah As-Syaqawi, Ad-Durarul Muntaqaah Minal Kalimaatil Mulqaah [app.turath.io, 2013], jilid 12, hlm. 146.)
Hasil Putusan Bahtsul Masail PCNU Banjar, Kalimantan Selatan, (28/12/2024)
Menurut Mazhab Hanabilah zakat pertambangan batubara termasuk dalam kategori zakat ma‘din, ini didasarkan pada tujuan utama zakat, yaitu untuk membantu memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin di kalangan umat Islam, serta memperkuat hubungan kasih sayang dan persaudaraan di antara masyarakat Muslim.
المعدن هو ما استخرج من الأرض مما خلق فيها من غير جنسها سواء كان جامدًا كالذهب والفضة والحديد والبلور والعقيق والكبريت وأشباهها أو مائعًا كالزرنيخ والنفط ونحوها.
Artinya, “Pertambangan, yaitu hasil yang dikeluarkan dari perut bumi dan tercipta di dalam perut bumi, baik itu berupa benda padat seperti emas, perak, besi, kristal, batu akik, belerang, dan benda padat sejenisnya. Atau benda cair, seperti arsenik, minyak, dan sejenisnya.” (Saad Zarzur, Fiqhul Ibadah alal Madzhabil Hanbali¸ t.th, hlm. 367.)
قول الحنابلة حيث أوجبوا الزكاة في كل أنواع المعادن، وهي كل ما خرج من الأرض مما يخلق فيها من غيرها مما له قيمة، ولا فرق بين ما ينطبع وما لا ينطبع سواء أكان جامدًا أم سائلًا. الراجح من الأقوال: الذي نرجحه من هذه الأقوال هو ما ذهب إليه الحنابلة لعموم قوله تعالى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Artinya, “Pendapat Imam Hanabilah yang mengatakan kewajiban zakat bagi setiap jenis hasil pertambangan, yaitu benda yang dihasilkan alami dari perut bumi dan memiliki nilai ekonomis. Tidak ada pemisahan apakah itu alami atau tidak, baik benda padat atau cair. Dan pendapat yang rajih dari pendapat-pendapat Imam Madzhab, yaitu pendapat Imam hanabilah karena keumuman ayat,” (Abdullah bin Muhammad at-Thoyyar, Fiqhul Muyassar, [Madar al-Wathon: Riyadh, 2011], jilid 2, hlm. 92.
Untuk pengeluarannya, menurut mayoritas ulama zakat hasil tambang termasuk dalam kategori ma‘din (barang tambang) yang tidak memerlukan masa satu tahun (haul) untuk diwajibkan zakat. Zakat wajib dikeluarkan segera setelah hasil tambang diperoleh atau muncul ke permukaan.
قَالَ النَّوَوِيّ وَقد أَجمعت الْأمة على وجوب الزَّكَاة فِي الْمَعْدن وَلَا زَكَاة فِي الْمَعْدن إِلَّا فِي الذَّهَب وَالْفِضَّة هَذَا هُوَ الْمَذْهَب الَّذِي قطع بِهِ الْأَصْحَاب وَقيل تجب فِي كل مَعْدن كالحديد وَنَحْوه فَإِذا استخرج شخص نِصَابا من الذَّهَب وَالْفِضَّة وَجَبت عَلَيْهِ الزَّكَاة وَيشْتَرط النّصاب دون الْحول أما النّصاب فلعموم الْأَدِلَّة وَوجه عدم وجوب الْحول.
Artinya, “Imam Nawawi berkata: Mayoritas ulama memang telah sepakat bahwa kewajiban zakat ma’din hanya tertentu pada hasil pertambangan emas dan perak, begitulah yang ditetapkan oleh ulama golongan ashab. Tetapi ada pendapat qiil, bahwa kewajiban mengeluarkan zakat yaitu dari seluruh hasil pertambangan seperti bijih besi dan seumpamanya. Dan disyaratkan dengan nisab, bukan haul.” (Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mukmin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, [Dar al-Khair: Demaskus, 1994], jilid 1, hlm. 180.
Namun, Menurut Mazhab Hanabilah, jika hasil tambang (ma‘din) dijadikan barang dagangan dan diperjualbelikan, maka selain zakat tambang, juga diwajibkan zakat perdagangan (‘urudh tijarah) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut meliputi:
1) Barang tersebut harus dimiliki melalui usaha yang sah seperti jual beli, sewa-menyewa, hibah bersyarat, atau akuisisi lainnya, dan dimaksudkan untuk perdagangan sejak awal kepemilikan;
2) Niat berdagang harus ada sejak awal dan berlangsung selama satu tahun penuh (haul), tanpa digunakan untuk kepemilikan pribadi;
3) Barang dagangan harus mencapai nisab selama satu tahun penuh, dan zakat wajib dikeluarkan setiap tahun berdasarkan nilai barang dagangan yang dimiliki atau hasil penjualannya, sebagaimana diwajibkan dalam syariat Islam.
Zakat wajib dikeluarkan segera setelah hasil tambang diperoleh, asalkan nilainya mencapai atau melebihi nisab, yaitu 85 gram emas. Hal ini berarti jika hasil tambang yang diperoleh setara dengan nilai tersebut, zakat sebesar 2,5% harus segera dikeluarkan.
Zakat hasil pertambangan dihitung berdasarkan penghasilan kotor (gross income), yaitu seluruh hasil tambang yang diperoleh sebelum dikurangi biaya operasional. Jika hasil tambang berupa emas atau perak, zakat wajib dikeluarkan setelah proses peleburan dan pemurnian selesai. Besaran zakat yang harus dibayarkan adalah 2,5% dari penghasilan kotor tersebut.
Biaya operasional, termasuk peleburan dan pemurnian, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penambang dan tidak dapat dikurangkan dari jumlah yang wajib dizakati. Namun, jika operasional tambang dilakukan dengan menggunakan utang, maka utang tersebut dapat dikurangi terlebih dahulu dari total penghasilan, dan zakat dihitung berdasarkan sisa hasil setelah pengurangan utang.
Para konglomerat pemilik pertambangan selain emas dan perak juga harus mengeluarkan zakatnya kepada rakyat-rakyat yang kurang mampu secara ekonomis dengan tolak ukur jika sampai nisab. Bahkan ketika setiap hari sampai nisab, berarti zakatnya wajib dikeluarkan setiap hari. Catatan, untuk memperluas informasi dan keterangan pembaca bisa melihat undang-undang.
Penulis: Anwar Syarif