Desember 21, 2024

Sumber foto: NU Online

ALBANJARI.COM, MARTAPURA– Menikah boleh dengan siapa saja, asal bukan dengan wanita mahram atau yang haram dinikah. Namun, karena di antara tujuan menikah untuk mendapatkan keturunan yang berkualitas baik dari aspek jasmani dan rohani, maka sangatlah penting mempertimbangkan calon istri. Sebab ia akan menjadi ibu yang berkaitan erat dengan anak atau keturunannya nanti.
Terkait hal itu Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menulis mengenai adab-adab perkawinan. Di sini akan difokuskan pada adab kedelapan, yakni lelaki yang akan menikah hendaknya memilih calon istri yang bukan kerabat dekat.
Menurut Imam Al-Ghazali, menikahi kerabat dekat akan meminimalisir syahwat. Pernyataan beliau ini disandarkan pada hadits Nabi saw:
لا تنكحوا القرابة القريبة فإن الولد يخلق ضاويا

Artinya, “Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, karena anak akan tercipta (terlahir) dalam kondisi lemah (kurus kerempeng).”
Al-Ghazali menjelaskan, anak yang terlahir dari pasangan kerabat dekat akan menjadi lemah, karena syahwat biologis hanya akan bangkit sebab kuatnya pengaruh indera penglihatan dan penyentuhan, sementara pengaruh indera penglihatan dan penyentuhan hanya akan menjadi kuat sebab melihat dan menyentuh sesuatu yang asing dan baru. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah], juz II halaman 41).

Agak berbeda, menurut Al-Bujairami ketidakbolehan (dalam taraf hukum makruh) menikahi kerabat dekat karena umumnya anak yang dilahirkan dari pasangan seperti itu akan menjadi anak yang bodoh atau bernalar rendah. (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarhi Minhaj, [Beirut, Matba’ah Al-Halabi], juz III, halaman 323).

Anjuran tidak menikahi kerabat dekat dari Imam Al-Ghazali sesuai dengan pendapat Imam As-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Al-Khatib as-Syirbini:

أَنَّ الشَّافِعِيَّ نَصَّ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ لَا يُزَوِّجَ مِنْ عَشِيرَتِهِ

Artinya, “Sungguh Imam As-Syafi’i menyatakan secara terang-terangan bahwa bagi calon suami disunahkan tidak menikahi kerabat(dekat)nya.”

Anjuran tidak menikahi kerabat dekat tidak dapat disanggah dengan pernikahan Nabi saw dan sepupunya yaitu Zainab binti Jahsy, yang tidak lain adalah anak saudara ayahnya, Umaimah binti Abdul Muthalib. Pernikahan Nabi dan Zainab ini tidak menjadi soal, karena pernikahan tersebut justru untuk menjelaskan kebolehannya.
Demikian pula pernikahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidah Fatimah. Selain untuk menjelaskan kebolehannya, keduanya termasuk saudara jauh, karena Sayyidah Fatimah merupakan putri Rasullah saw yang merupakan paman Sayyidina Ali. (Al-Khatib As-Syirbini, Mugnil Muhtaj, [Beirut, Dar Kutub Ilmiyah: 1415 H], juz IV, halaman 208).

Maksud kerabat dekat yang dianjurkan untuk tidak dinikahi Sayyid Bakri Syatha menjelaskan, yang dimaksud kerabat dekat adalah wanita yang masih dalam derajat atau urutan pertama jalur paman dan bibi dari ayah atau ibu.
Ia mengatakan:
قوله: (من هي في أول درجات العمومة والخؤولة) أي كبنت العم وبنت الخال وبنت العمة وبنت الخالة

Artinya, “Perkataan penulis kitab Fathul Mu’in: ‘Saudara dekat adalah wanita yang masih dalam derajat pertama jalur paman dan bibi dari ayah dan ibu), yakni semisal anak perempuan paman dari jalur ayah, anak perempuan paman dari jalur ibu, anak perempuan bibi dari jalur ayah, dan anak permpuan bibi dari jalur ibu.”

Di Indonesia hubungan kekerabatan seperti itu lazim dikenal dengan istilah adik atau kakak sepupu. Adapun saudara perempuan jauh adalah perempuan yang tidak pada derajat atau urutan pertama. Semisal cucu perempuan paman atau bibi dari jalur ayah, dan cucu perempuan paman atau bibi dari jalur ibu. Wallahu a’lam. (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha, I’anatut Thalibin, [Bairut, Dar-Fikr: 1418 H], jus 3 halaman 313).

Penulis: Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Sumber: NU Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *