Oleh: Ahmad Wafi Hasbullah*
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
“Cinta itu buta”, merupakan beberapa patah kata yang sangat populer di tengah masyarakat kita. Istilah tersebut menggambarkan betapa cinta mempunyai pengaruh yang sangat besar. Tidak hanya terbatas pada cinta kepada lawan jenis, namun juga semua hal yang berkaitan dengan cinta. Sebab cinta seorang ibu rela bertaruh nyawa, dan ayah demi menafkahi yang dicintainya rela memeras tenaga. “Cinta itu buta” juga bisa dimaknai; ketika bunga cinta mekar di taman hati, semerbak aromanya membius pikiran, lalu membuat mata buta terhadap kekurangan dan perbedaan yang membatasi sang pecinta dan kekasihnya. Walau begitu, tetap ada batasan dalam “Permainan Cinta”. Batasan-batasan tersebut bisa berasal dari adat istiadat, hukum positif, atau pun hukum agama.
Buah daripada cinta antara lawan jenis adalah pernikahan. Agama, adat, dan hukum positif pun memiliki peraturan dalam hal pernikahan. Peraturan-peraturan tersebut berperan sebagai rel yang memandu pernikahan itu agar diangap sah secara agama dan diakui negara, serta untuk tercapainya tujuan luhur dari pernikahan itu. Sebaliknya, ketika pernikahan itu dilakukan tidak sesuai peraturan, baik dari kacamata agama, adat, atau hukum positif, maka ada kemungkinan pernikahan itu dianggap tidak sah. Seperti misalnya pernikahan beda agama. Agama-agama yang resmi di Indonesia cenderung melarang yang demikian, begitu pula hukum positif, seperti yang tertera dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam pasal tersebut, secara jelas yang menjadi tolak ukur sah atau tidaknya suatu pernikahan adalah peraturan dalam agama si pasangan pengantin. Namun, bagi masyarakat yang hidup di Indonesia dengan keberagaman agama yang ada, tidak jarang ditemukan kasus pernikahan beda agama terjadi.
Di Indonesia, ada enam agama yang diakui secara resmi, yaitu; Islam sebagai mayoritas dengan jumlah penganut 238,09 juta jiwa, kemudian Kristen 20,45 juta jiwa, Protestan sebanyak 8,43 jiwa, Hindu dengan penganut berjumlah 4,67 juta jiwa, Budha 2,03 juta jiwa, dan terakhir agama Konghucu sebanyak 73,63 ribu jiwa.[1] Semuanya tersebar di berbagai daerah di Tanah Air tercinta. Berbaur dan saling menghormati kepercayaannya masing-masing. Walau saling toleransi, pernikahan beda agama tetap dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar di ajaran masing-masing agama, hingga tidak jarang menimbulkan kontroversial.
Dilansir dari populis.id, Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) sejak 2005 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia.[2] Karena dianggap tidak sah secara hukum dan agama, biasanya pasangan beda agama berusaha lebih untuk mendapat pengakuan dan bisa mendaftarkan pernikahannya, seperti melakukan pernikahan di luar negeri, atau melaksanakan akad nikah dua kali dengan aturan masing-masing agama, ada pula yang berpura-pura pindah agama hanya demi pernikahannya dianggap sah, setelah pernikahan usai, ia kembali ke agamanya. Praktek seperti itu tentu menuai kontroversial, sebab dianggap mempermainkan agama yang sakral.
Dalam kacamata agama Islam, apabila diamati lebih lanjut, Islam tidak secara mutlak melarang praktek pernikahan beda agama. Dalam menyikapi hal itu, para ulama terbagi kepada beberapa pendapat. Namun tetap pada akhirnya, pendapat dengan argumentasi paling kuat dan mendekati tujuan mewujudkan kemasalahatan dan mencegah kemudhoratan yang dipilih.
BENARKAH HUKUM ISLAM JADI ALGOJO BAGI CINTA DUA INSAN BEDA AGAMA?
Islam adalah agama yang mengatur cukup ketat dalam hal pernikahan. Sejak awal kehadirannya, ia banyak merombak tradisi pernikahan di zaman Jahiliyyah. Sebut saja misalnya poligami tanpa ada batas jumlah, nikah syigar[3], nikah mut’ah,[4] dan lain-lain, Islam datang lalu mengubah itu semua secara bertahap. Tentu saja hal itu bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai luhur dari pernikahan itu sendiri, dan demi kemaslahatan serta mengangkat derajat perempuan. Tidak terkecuali pernikahan beda agama.
Ketika masa-masa awal dakwah Islam menyebar di tengah masyarakat Arab, banyak orang yang masuk Islam namun pasangannya masih tetap pada keyakinan lamanya. Adapula beberapa Sahabat yang setelah masuk Islam lalu menikah dengan wanita non muslim.[5] Itu berarti, kasus pernikahan beda agama bukanlah sesuatu yang baru, namun sudah ada sejak masa awal perkembangan Islam, bahkan tercantum dalam Al-Qur’an, dibahas secara detail oleh ulama di masa klasik hingga kontemporer.
Lalu bagaimana sebenarnya Islam menyikapi pernikahan beda agama?
Al-Qur’an sendiri sudah mengatur pernikahan beda agama. Di surah Al-Baqarah ayat 221, terdapat sebuah larangan menikahi wanita musyrik. Allah Ta’ala berfirman :
{وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ}
Artinya : “dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik” [6]
Syekh Abdurrazak di dalam kitab tafsirnya mendefinisikan yang dimaksud musyrik adalah orang-orang yang tidak termasuk ahli kitab.
Kemudian terdapat ayat lain yang berkaitan dengan pernikahan beda agama dan sifatnya lebih mempersempit makna ayat di atas. Allah ta’ala berfirman :
(وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ)
Artinya : “Dan makanan mereka ahli kitab halal bagi kalian, dan makanan kalian halal bagi mereka. (dan halal dikawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.”[7]
Di ayat lain, Allah Ta’ala menerangkan hukum seorang non muslim menikahi perempuan muslimah. Allah Ta’ala berfirman :
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Artinya : “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…”[8]
Berangkat dari tiga ayat di atas, maka para ulama membuat perincian mengenai hukum nikah beda agama di dalam kitab-kitab klasik sebagai berikut :
- Apabila si perempuan yang muslimah, maka ia tidak boleh menikah dengan lelaki dari agama yang berbeda, baik ahli kitab atau bukan.
- Adapun apabila yang Islam adalah lelaki, maka dirincikan lagi; ketika si perempuan non muslim itu merupakan ahli kitab, yaitu penganut Nasrani dan Yahudi, niscaya nikahnya dibolehkan dan diangap sah.
- Apabila si perempuan non muslim itu bukan dari kalangan ahli kitab, maka para ulama menghukuminya haram dinikahi dan tidak sah.[9]
Namun sebagaimana karakteristik ilmu fikih, di dalamnya terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama ahli fikih sepakat akan tidak sahnya pernikahan wanita muslimah dengan lelaki non muslim dan pernikahan lelaki muslim dengan perempuan non muslim yang bukan dari kalangan ahli kitab. Namun, mereka berselisih pendapat mengenai ahli kitab yang boleh dinikahi.
Dalam hal ini, para ulama fikih terbagi kepada dua pendapat :
- Menurut satu pendapat, ahli kitab boleh dinikahi dengan tiga syarat; pertama,ia merupakan Bani Israil. Kedua, ia sudah beragama Nasrani atau Yahudi sejak sebelum ajaran agamanya diamandemen oleh ajaran agama samawi yang datang setelahnya. Ketiga, ia sudah meyakini agamanya tersebut sejak sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. Kalau berpatokan kepada pendapat pertama ini, maka Nasrani dan Yahudi yang hidup di masa sekarang sudah tidak ada lagi yang halal dinikahi oleh lelaki muslim.
- Pendapat lain mengatakan, ahli kitab boleh dinikahi oleh lelaki muslim tanpa ada syarat khusus.[10]
Apabila kita mengamati ayat Al-Qur’an dan pendapat-pendapat ulama di atas, mungkin secara lahirian terlihat Islam hanya memberi kelonggaran kepada kaum lelaki dan terkesan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Namun,setiap peraturan yang berasal dari Allah Ta’ala selalu mengandung hikmah di dalamnya. Di balik aturan agama Islam, selalu terkandung minimal satu dari lima tujuan utama terlahirnya hukum Islam, yakni memelihara agama, diri, keluarga, kehormatan, dan harta. Sebenarnya, ada sejumlah hikmah yang bisa dijelaskan. Memang demikian sebenarnya karakter ajaran Islam. Seluruh aturan-aturan yang ditetapkan memiliki hikmah, dan demi kemasalahatan bagi pihak yang terkait dengan aturan tersebut.
Pernikahan dalam Islam sejatinya harus berpondasi atas cinta (Mawaddah), kasih sayang (rahmah), dan ketenangan jiwa (sakinah).[11] Semua itu karena Islam menginginkan sebuah rumah tangga berjalan langgeng hingga akhir. Sebab perceraian menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang paling dibenci Tuhan,[12] dan ikatan pernikahan seringkali disebut ‘akdun gholiz (akad yang kuat), hingga Islam mengatur sedemikian rupa persyaratan nikah agar semua itu bisa tercapai.
Maka, berangkat dari semua prinsip itu, ketika seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, baik seorang Nasrani, ataupun Yahudi, ia harus menghormati keyakinan istrinya. Ia pun tidak berhak melarang sang istri untuk pergi beribadah dan melaksanakan ritual-ritual keagamaan ke tempat peribadatannya, sebab toleransi pun juga merupakan ajaran agama Islam.
Namun, berbeda halnya ketika seorang lelaki non muslim menikahi perempuan muslimah. Kita tidak bisa berharap banyak akan adanya toleransi dari sang suami non muslim kepada keyakinan istrinya yang muslimah. Sebab, bagi seorang muslim atau muslimah, wajib hukumnya mempercayai para Nabi terdahulu yang juga diimani oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi, sedangkan mereka tidak memiliki ajaran untuk mempercayai dan mengimani Nabinya orang muslim. Di ajaran mereka, Nabinya orang muslim_Nabi Muhammad SAW_ kerap dianggap sebagai Nabi palsu, bahkan terkadang stigma negatif tentang Nabi orang muslim tertanam di dalam benak mereka dewasa ini.[13]
Syekh Yusuf al-Qardhawi menambahkan, sebab lelaki diperbolehkan mempersunting perempuan non muslim dari ahli kitab, karena adat yang berlaku di tengah masyarakat, adalah sang suami sebagai nahkoda bahtera rumah tangga. Ia bisa dikata pemegang kendali di dalam sebuah keluarga. Posisinya adalah orang yang memberi pengaruh, bukan yang dipengaruhi. Jadi, walaupun isrinya seorang non muslim, ia masih bisa mengajari atau mengarahkan istrinya untuk menghormati ajaran agama sang suami.[14]
Dari butiran-butiran hikmah di atas itu lah, kita bisa memahami, kenapa Islam hanya membatasi wanita non muslim dari kalangan Yahudi dan Nasrani saja yang boleh dinikahi lelaki muslim. Islam sangat logis dan konsisten dalam hal ini. Sebab seorang muslim hanya dibenarkan percaya dan hormat kepada agama-agama wahyu/samawi. Adapun agama-agama lain yang bukan berasal dari wahyu/samawi, sikap menghormati dari seorang muslim hanyalah basa-basi dan toleransi semu demi menjaga perdamaian, kerukunan beragama, dan memperkuat tali Ukhuwah Insaniah. Dan tentu saja, semua peraturan tersebut dilaksanakan agar bahtera rumah tangga bisa berlayar mengarungi samudera kehidupan dalam keadaan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Oleh karena itu, tidak tepat kalau menyebut ajaran Islam sebagai “Algojo” yang memancung hubungan cinta dua insan beda agama, namun ia adalah “Hakim” yang mengatur dan memutuskan demi kemaslahatan.
PENUTUP
Islam memiliki perhatian khusus terhadap seluk beluk masalah pernikahan. Segala hal sejak awal tahapan melangkah ke gerbang pernikahan hingga akhir diatur dengan sangat baik. Begitu pula mengenai pernikahan beda agama. Islam tidak menutup potensi terjadinya pernikahan beda agama secara mutlak, namun masih ada celah agar pernikahan beda agama itu dianggap sah dalam pandangan agama Islam.
Agama kita mengakui pernikahan beda agama dengan catatan, yang muslim adalah calon suami dan calon istrinya adalah ahli kitab. Adapun selain itu, baik yang beragama Islam adalah sang calon istri, atau calon istrinya non muslim namun bukan dari golongan ahli kitab, maka agama kita melarangnya, dan apabila hal itu terjadi, maka konsekuensinya pernikahan itu dianggap tidak sah. Pernikahan yang tidak sah dalam pandangan agama akan berakibat terhadap kelanjutan perjalanan bahtera rumah tangga, seperti anak yang lahir tidak bisa bernisbah dan berwali kepada sang ayah, istri dan anaknya tidak mendapat hak waris, dan akibat lainnya. Hal itu diatur bukan untuk mendiskriminasi kalangan tertentu, tidak sama sekali, namun untuk mewujudkan tujuan luhur dari pernikahan.
Saya kira, undang-undang yang mengatur pernikahan beda agama sudah tepat. Di dalamnya tidak ada pertentangan dengan ajaran agama yang diakui negara. Dengan adat masyarakat pun juga masih sesuai. Sebab di antara tujuan terlahirnya hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan, dan dalam pernikahan beda agama, walau tidak menafikan ada maslahat di dalamnya, namun mudharatnya lebih banyak, mulai dari rentan terjadi intoleransi, perceraian karena tidak sejalan, anak yang tidak bisa bernasab dan berwali, istri dan anak yang tidak mendapat hak waris (kecuali hibah), serta hal-hal mudharat lainnya.
Adapun sekian ribu kasus pernikahan beda agama di Indonesia itu, menurut saya tidak lebih dari sekedar “warna-warni” yang kerap menyertai jalannya sebuah undang-undang atau peraturan. Bandingkan saja dengan undang-undang lain dan jumlah pelanggaran terhadap undang-undang itu, apakah pelanggaran tersebut menjadi alasan untuk dirubahnya sebuah peraturan? Memang, apabila peraturan dianggap terlalu lemah atau tidak bisa mewujudkan tujuan dari diadakannya peraturan tersebut maka perlu ada pembaharuan, namun mengenai pasal pernikahan beda agama, tidak perlu ada pembaruan yang memperlonggar, karena kasus pelanggaran terhadap pasal tersebut itu pun hanya dilakukan “segelintir” orang di antara sekian juta penduduk di Negara kita. Apabila undang-undang tersebut diperlonggar, maka hanya akan menimbulkan pertentangan dari banyak pihak, dan akan menimbulkan situasi yang lebih rumit nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
https://populis.id/read13644/jangan-kaget-ini-jumlah-pasangan-nikah-beda-agama-di-indonesia
al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, cet. Al-Anba’ 1985 M
Hasyiata Qolyubi wa Umairah jilid 3, cet. Maktabah Imaratullah, Surabaya.
Majmu Syarah al-Muhadzzab, jilid 16, cet . at-Taufiqiyyah : Cairo.
Ahmad bin Muhammad ath-Thabi al-Mahamili, al-Lubab fi al-Fiqhi as-Syafi’i, cet. Dar al-Bukhari 1416 H.
Prof.Dr.Mahmoud Hamdi Zaqzouq, Islam Dihujat Islam Menjawab (Tanggapan atas tuduhan dan kesalahpahaman), Penerbit Lentera Hati : Tanggerang. 2008
Yusuf al-Qardhawi, Fi Fiqhi al-Aqliyaati al-Muslimaat, cet. Dar as-Syuruq : Cairo 2001 M.