Oktober 15, 2024
Kitab Mas-alatul Qiblah Fil Batawi

Kitab Majmu’ah Muallafat Ulama Indonesia (Seri Penerbitan Karya Agung Ulama Nusantara Sepanjang Masa). Foto-Istimewa.

ALBANJARI.COM, BANJARMASIN – Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau yang dikenal dengan Datuk Kelampayan ketika pulang dari Tanah Suci Makkah Al Mukarromah sempat singgah sebentar di Betawi (Jakarta). Selama di sana, banyak yang dikerjakan ulama besar asal Banjar tersebut. Satu di antaranya, membetulkan arah kiblat masjid yang sudah bergeser.

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ketika pulang dari tanah suci pada tahun 1772 M, singgah sebentar di kediaman sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri (Kakek dari Mufti Betawi, Habib Utsman bin Yahya) di Betawi (Jakarta).

Kedatangan Syekh Muhammad Arsyad disambut suka cita oleh para alim ulama dan masyarakat di sana. Penyambutan itu dipimpin langsung oleh ulama besar Betawi zaman itu, Syekh Abdul Qohar.

Syekh Muhammad Arsyad yang memiliki keahlian hampir di seluruh bidang ilmu, banyak dimintai pendapat oleh masyarakat di sana.

Satu di antaranya adalah mengenai arah kiblat masjid. Penyebab pergeseran itu diperkirakan karena adanya pergeseran kerak bumi dan aktivitas tektonik.

Menurut Yusuf Khalidi dalam buku “Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari”, sedikitnya ada 3 masjid yang dibetulkan arahnya oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika di Jakarta. Yakni, Masjid Jami Kampung Sawah yang kemudian hari dinamai Masjid Jami Al Mansyur di Kampung Sawah Lio Jakarta. Masjid kedua, adalah Masjid Luar Batang, Pasar Ikan di Jakarta Utara. Ketiga, adalah Masjid Pekojan, Jakarta.

Saat membetulkan arah kiblat masjid di sana, Syekh Muhammad Arsyad menunjukkan karomahnya (keramat). Ketika beliau menunjukkan arah yang benar, terlihatlah Kakbah dari celah tangan baju jubahnya. Masyarakat pun mempercayai apa yang ditunjukkan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Namun, peristiwa itu menjadi buah bibir di masyarakat. Hingga, terdengar ke telinga Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu (Petrus Albertus Van Der Parra berkuasa pada tahun 1761-1775 M).

Oleh Gubernur Jendral, Syekh Muhammad Arsyad beserta para ulama di Jakarta juga pemuka agama lain (pendeta) diundang untuk membicarakan perihal tersebut.

Dalam pertemuan itu, Syekh Muhammad Arsyad Berhadapan dengan Gubernur Jendral di kelilingi ulama dan pendeta.

“Benarkah Tuan Syekh, bahwa arah kiblat dari Masjid Luar Batang itu salah?”

“Ya, memang salah,” jawab Syekh Muhammad Arsyad dengan tenang.

“Jadi, bagaimana yang betul?” desak Gubernur.

Syekh Muhammad Arsyad tentu saja tidak membuktikan dengan karomahnya, sebagaimana yang beliau tunjukkan pada masyarakat. Beliau pun mengeluarkan sebuah peta dunia buatannya sendiri. Kemudian menjelaskan arah kiblat menurut ilmu astronomi (falak) yang beliau dikuasainya.

“Betulkah begitu?” tanya Gubernur pada para ulama dan pendeta yang menyaksikan penjelasan Syekh Muhammad Arsyad.

“Betul Tuan,” jawab mereka.

Dengan diakuinya kebenaran pendapat Syekh Muhammad Arsyad maka selesailah masalah itu.

Sampai saat ini, masjid-masjid yang dibetulkan arah kiblatnya itu masih berdiri kokoh, sebagai saksi sejarah betapa luar biasanya ilmu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

***

Sekira 42 tahun dari cetakan pertama buku “Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari”, apa yang dituliskan Yusuf Halidi itu mendekati kebanaran. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ternyata tidak hanya menunjukkan karomah dan beradu argumen keilmuan dengan berbagai pihak, beliau juga menuliskan kitab berjudul “Mas-alatul Qiblah Fil Batawi” atau problematika arah kiblat di Batavia, ditulis pada masa itu (th 1772).

Manuskrip berusia 250 tahun ini berisi tanya jawab Syekh Abdullah bin Abdul Qohar (ulama yang tidak sependapat dengan perubahan arah kiblat) dengan Syekh Muhammad Arsyad. Manuskrip ini kemudian dibukukan bersama karya ulama-ulama Nusantara lainnya pada Februari 2022 dengan judul “Majmu’ah Muallafat Ulama Indonesia (Seri Penerbitan Karya Agung Ulama Nusantara Sepanjang Masa”.

Manuskrip Syekh Arsyad ini disimpan di Universitas Leiden Belanda, koleksi Christian Snouk Hurgronje. Penemu dan pentahqiq manuskrip ini adalah dosen UIN Walisongo Semarang asal Amuntai, Ustadz Nur Hidayatullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *