Desember 4, 2024
Kitab Sabilal Muhtadin

Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. Foto-Net.

Ulama asal Nusantara banyak yang menjadi ulama besar di dunia. Karya-karyanya menjadi rujukan umat. Namun, terkadang tak sedikit umat Islam di Indonesia yang tidak mengenal ulama Nusantara dan karyanya yang mendunia. Salah satu karya besar dalam bidang fikih utamanya Mazhab Syafi’i adalah kitab Sabilal Muhtadin.

Kitab ini ditulis oleh ulama besar asal Banjar, Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sabilal Muhtadin sangat terkenal pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Kitab ini tak hanya menjadi rujukan umat Islam di Tanah Air, namun juga dipelajari dan diajarkan di Masjidil Haram, Makkah, juga Malaysia dan Thailand. Kitab ini diajarkan oleh para ulama asal Melayu kepada orang-orang Melayu yang datang ke Makkah sebelum mereka mahir berbahasa Arab.

Sabilal Muhtadin ditulis dengan aksara Arab berbahasa Melayu. Kitab ini adalah kitab kedua yang ditulis dengan gaya bahasa Arab pegon setelah Sirat al-Mustaqim karya Syekh Nuruddin ar-Raniri dari Aceh.

Sabilal Muhtadin adalah kitab fikih ibadah. Kitab ini dibagi dalam dua jilid. Jilid pertama diawali dengan mukadimah, pembahasan soal bersuci di bagian pertama dan diakhiri soal hal-hal yang makruh dalam shalat.

Sementara, jilid kedua diawali pembahasan tentang sujud sahwi dan diakhiri dengan al at’imah yang membahas tentang halal dan haram makanan. Tebal kitab ini 524 halaman dengan rincian jilid pertama 252 halaman dan 272 halaman di jilid kedua. Syekh Arsyad al-Banjari mulai menulis kitab ini atas anjuran Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah yang memerintah di Kesultanan Islam Banjar (1778- 1808).

Syekh Arsyad mulai menulis buku pada 1193 H (1779 M) dan selesai dalam kurun dua tahun, pada 1195 H (1781 M). Syekh Arsyad mengambil rujukan dari kitab-kitab ulama Syafi’iah generasi terakhir, seperti Syarah Minhaj karya Syekh Zakaria al-Ansari, Mugni al-Muhtaj karya Syekh Katib Syarbini, Tuhfah karya Syekh Ibnu Hajar al- Haitami, dan Nihayah karya Syekh Jamal ar-Ramli.

Naskah Sabilal Muhtadin sendiri yang diperbanyak bukanlah naskah autentik tulisan tangan Syekh Arsyad. Mulanya, selama satu abad pertama, Sabilal Muhtadin berpindah dari tangan satu ulama ke ulama yang lain melalui salinan tulisan. Belum ada usaha untuk memperbanyak melalui percetakan yang masif. Baru pada 1882 M di Makkah atas inisiasi dan biaya Syekh Ahmad bin Muhammad Zail al-Fatani, seorang ulama besar asal Pattani, Thailand, kitab ini dicetak dan diperbanyak.

Syekh Ahmad bin Muhammad al-Fatani adalah seorang guru dan ulama yang mengajar di Masjidil Haram. Ia mendapat salinan Sabilal Muhtadin dari ayahnya, Syekh Muhammad Zain bin Mustafa. Syekh Muhammad Zain mendapat salinan dari gurunya, Syekh Daud al-Fatani, yang merupakan kawan Syekh Arsyad al-Banjari di Makkah.

Sebelum diterbitkan, naskah Sabilal Muhtadin sempat diperbaiki oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Zain. Ia memperbaiki beberapa kekeliruan dalam proses penyalinan yang dilakukan beberapa ulama. Ia sendiri tak menemukan goresan asli Syekh Arsyad al-Banjari, baik di Makkah dan Mesir. Naskah hasil koreksinyalah yang menjadi acuan kitab tersebut saat diperbanyak.

Penerbitan kedua dilakukan di Costantinopel pada1302 H menyusul kemudian penerbitan ketiga di Mesir pada 1307 H. Penyebaran kitab ini dilakukan oleh murid-murid Syekh Ahmad yang kembali ke daerah asal setelah menimba ilmu di Makkah. Penyebarannya semakin masif setelah jamaah haji asal Asia Tenggara yang datang ke Makkah ikut mem bawa kitab Sabilal Muhtadin ke nusantara, Malaysia, Thailand.

Sabilal Muhtadin akhirnya menjadi salah satu kitab referensi utama dalam bidang fikih di pondok p esantren di Asia Tenggara. Sebagai kitab ulama besar pada abad ke-18, Sabilal Muhtadin juga disimpan di berbagai perpustakaan dunia, seperti Makkah, Turki, dan Beirut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *