Juli 26, 2024
Mujiburrahman

Rektor UIN Antasari Banjarmasin, Prof Dr Mujiburrahman. Foto-Istimewa.

Oleh: Prof. Dr. Mujiburrahman

Bahasa sebagai seperangkat simbol untuk menghadirkan makna dalam berkomunikasi, merupakan unsur yang sangat penting bagi peradaban umat manusia. Bahasa menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang hidup bersama, saling terkait dan saling memengaruhi satu sama lain. Bahasa juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif, yang menciptakan, melestarikan dan mengembangkan berbagai aspek kehidupannya. Singkatnya, bahasa membuat manusia menjadi makhluk yang berbudaya.

Yang lebih menarik lagi, bahasa menunjukkan kesamaan sekaligus perbedaan umat manusia, yang pada gilirannya melahirkan identitas sosial. Kesamaan bahasa mengikat sejumlah orang dalam satu identitas, dan pada saat yang sama membedakan mereka dengan yang lain. Ada ribuan bahasa di muka bumi ini, ratusan di antaranya ada di Indonesia. Ada bahasa etnis tertentu, dan ada pula bahasa resmi yang berlaku nasional bahkan internasional. Ada bahasa yang terbatas pada budaya lisan, dan adapula yang mencakup lisan dan tulisan. Ada bahasa yang memiliki huruf yang khas, sebagai simbol-simbol tertulis yang digunakan dalam tulisan, tetapi adapula bahasa yang meminjam dan memodifikasi huruf yang tersedia dari bahasa lain. Ada bahasa yang sama, tetapi intonasi pengucapannya di kalangan penuturnya berbeda. Dalam satu bahasa yang sama, kadang ditemukan pula tingkatan bahasa, yang berlaku untuk kelas bawah dan kelas atas. Ada pula bahasa serumpun, tetapi kemudian karena perbedaan wilayah politik, akhirnya berkembang sendiri-sendiri, meskipun para penuturnya relatif tetap bisa memahami satu sama lain. Alhasil, kesamaan dan perbedaan bahasa melahirkan identitas etnis, bangsa hingga kelas sosial di masyarakat.

Terlepas dari serbaneka bahasa manusia yang luar biasa itu, manusia tetaplah sama sebagai manusia. Apapun bahasa yang digunakannya, bahasa itu hanyalah sarana untuk menghadirkan makna. Bahasa adalah simbol berupa suara dan/atau tulisan untuk menyampaikan makna yang diinginkan. Dengan demikian, keragaman bahasa pada dasarnya hanyalah keragaman simbol. Cinta misalnya, adalah perasaan manusia yang universal. Cinta bisa diungkapkan dengan berbagai cara dalam berbagai bahasa, tetapi maksud atau makna yang dituju adalah sama, yaitu cinta. Karena adanya kesamaan makna, maka perbedaan bahasa dapat dipelajari, dan orang bisa menguasai sejumlah bahasa.

Dalam perkembangan kebudayaan umat manusia, sebagian bahasa berkembang lebih cepat dan luas, sebagian lagi ada yang sangat terbatas, bahkan ada pula bahasa yang sudah punah. Bahasa yang dipelihara dan dikembangkan melalui tulisan (huruf), cenderung lebih kuat bertahan dibanding bahasa yang hanya dipelihara sebagai bahasa lisan. Begitu pula, bahasa yang dikembangkan seiring dengan perkembangan ilmu, teknologi dan seni, akan berkembang pesat dan kuat dibanding bahasa yang hanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Akhirnya, bahasa yang digunakan dan dikembangkan oleh suatu bangsa yang dominan secara politik, ekonomi dan budaya di dunia, akan menjadi bahasa yang lebih penting dan kuat dibanding bahasa bangsa lain yang lemah dan marjinal.

Salah satu bahasa yang kuat dan dominan di dunia saat ini adalah bahasa Inggris. Hal ini antara lain karena para penutur asli bahasa ini adalah negara-negara maju dan dominan di dunia, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Ketika Inggris menjajah banyak wilayah di Asia dan Afrika, mereka juga mengajarkan dan menyebarluaskan bahasa mereka. Selain itu, migrasi orang-orang Inggris ke Amerika dan Australia, membuat bahasa ini semakin tumbuh dan berkembang di luar negeri asalnya. Pada paruh kedua abad ke-20, ketika kekuatan politik dunia semakin didominasi Amerika, bahasa Inggris makin berjaya. Bahasa Inggris semakin umum digunakan dalam komunikasi politik, bisnis, sains, teknologi dan seni. Bahasa Inggris akhirnya menjadi bahasa internasional, sebagai bahasa bersama umat manusia.

Mungkin karena sebagian besar bangsa-bangsa Muslim, termasuk Indonesia, mengalami penjajahan bangsa Eropa, maka sikap mereka terhadap bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa Eropa, cenderung mendua. Sikap mendua itu kadang muncul dalam bentuk ekstrem yang berlawanan: ada yang menolak belajar bahasa Inggris karena dianggap sebagai bahasa orang kafir, tapi ada pula yang mabuk tergila-gila sehingga genit dalam berbahasa Inggris. Khusus bagi bangsa Indonesia, sikap mendua itu antara lain karena dalam sejarah, pemerintah kolonial Belanda berupaya meletakkan bahasa Belanda sebagai identitas kelas atas sehingga tidak mau mengajarkannya kepada masyarakat luas. Itulah sebabnya, banyak kaum elit Indonesia di zaman penjajahan hingga awal kemerdekaan, yang lebih suka berbicara dan berdiskusi dalam bahasa Belanda ketimbang bahasa Melayu/Indonesia. Di sisi lain, sejumlah ulama dari pesantren tradisional, bukan hanya tidak mengerti bahasa Belanda, tetapi juga menganggapnya sebagai bahasa orang kafir yang harus dijauhi. Politik bahasa ini pada akhirnya menjadikan bahasa Belanda dan bahasa Melayu sebagai identitas pembeda antara penjajah dan para pendukungnya di satu sisi, dan massa rakyat yang mereka jajah di sisi lain. Demikianlah, bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa nasional, yang menjadi identitas kebangsaan Indonesia, berhadap-hadapan dengan identitas bangsa penjajah yang berbahasa Belanda.

Meski dilihat dari sudut pertumbuhan dan pembentukan nasionalisme, rasa enggan terhadap bahasa Belanda itu bisa dianggap positif, namun dari segi perkembangan kebudayaan dalam arti tertentu bisa pula berdampak negatif. Bagaimanapun, Belanda yang menjajah Indonesia selama ratusan tahun, banyak menyimpan dokumen yang berharga, yang sangat penting bagi setiap usaha memahami sejarah bangsa ini. Selain itu, tak dapat disangkal bahwa orang-orang Eropa ketika itu bisa menjajah bangsa-bangsa Asia, termasuk Belanda yang menjajah Indonesia, karena mereka lebih maju dalam bidang kebudayaan, terutama di bidang sains, teknologi dan seni. Tanpa menguasai bahasa mereka, sulit bagi siapa pun untuk mempelajari kebudayaan tersebut.

Namun tampaknya sikap mendua terhadap bahasa Eropa di atas, ternyata sebagian masih bertahan hingga sekarang, khususnya dalam menyikapi bahasa Inggris. Seperti telah disinggung, bahasa Inggris semakin dominan di dunia kontemporer karena bahasa ini digunakan dan disebarluaskan oleh bangsa yang kuat secara politik, ekonomi dan budaya. Karena itu, di satu sisi, ada gairah yang luar biasa di masyarakat kita, untuk mempelajari dan menguasai bahasa Inggris. Di Indonesia, bahasa Inggris menjadi salah satu mata pelajaran wajib sejak tingkat menengah hingga perguruan tinggi. Kursus-kursus bahasa Inggris yang dikelola swasta bertebaran di mana-mana. Alat-alat pembelajaran bahasa Inggris juga terus dikembangkan. Tes kemampuan bahasa Inggris yang diakui seperti TOEFL dan IELTS semakin diperlukan. Bahasa Inggris menjadi simbol kemajuan. Pada akhirnya, bahasa Inggris menjadi lahan bisnis.

Di sisi lain, ada perasaan tidak nyaman bagi sebagian orang, lebih-lebih di kalangan Muslim, terhadap sepak terjang politik Amerika di dunia saat ini, khususnya di Timur Tengah. Hal ini tampaknya mendorong lahirnya sikap yang negatif terhadap bahasa Inggris. Sikap negatif tersebut antara lain ditunjukkan dengan meletakkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang tidak penting atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali jika ditinjau dari sudut pandang keagamaan. Sikap seperti ini bisa ditemukan di kalangan kaum santri tertentu yang cenderung hanya mempelajari bahasa Arab dan kurang peduli atau bahkan sama sekali tidak mempelajari bahasa Inggris. Sikap negatif lainnya muncul dalam bentuk sebaliknya, yaitu berusaha mempelajari bahasa Inggris guna mengetahui kelemahan musuh. Setidaknya, itulah yang pernah saya dengar dari seorang pengajar bahasa Arab asal Mesir yang pandai berbahasa Inggris. “Mengapa Anda belajar bahasa Inggris?” tanya saya. “Agar kita mengerti bahasa musuh-musuh kita,” katanya.

Padahal, pandangan sempit dan ekstrem terhadap bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, baik yang terlalu mendewa-dewakan, atau sebaliknya, yang tak peduli bahkan membenci atau menjadikannya sebagai alat kebencian, sama-sama tidak tepat. Sikap yang tepat adalah sikap terbuka, yang menempatkan bahasa sebagai alat untuk mencapai tujuan kebaikan. Kita sekarang hidup di era globalisasi, ketika dunia semakin menyatu laksana sebuah desa, dan ketika hubungan antar manusia begitu mudah, cepat dan murah, berkat teknologi komunikasi yang makin canggih. Di era ini, dunia semakin perlu kepada bahasa yang dapat mempertemukan umat manusia yang berbeda bangsa dan budayanya. Tak dapat disangkal bahwa bahasa Inggris, adalah salah satu bahasa yang dapat digunakan dalam komunikasi global tersebut. Melalui bahasa Inggris, kita bisa saling menyapa, saling belajar dan saling memberi. Seorang yang menjelajahi dunia maya melalui internet, tentu akan lebih banyak bisa mendapatkan informasi, jika ia menguasai bahasa Inggris. Seorang yang berminat dalam bidang ilmiah, kesenian, teknologi dan bisnis, akan lebih mudah mengembangkan minatnya itu, jika ia menguasai bahasa Inggris. Saat ini, mayoritas karya ilmiah dalam bentuk buku dan jurnal di berbagai bidang ilmu, (ada yang mengatakan hingga 80%), dipublikasi dalam bahasa Inggris. Jika orang ingin mengakses sumber bacaan yang luas, atau karyanya bisa dibaca di seluruh dunia, maka dia harus mampu membaca dan menulis dalam bahasa Inggris.

Bagi kalangan santri, yang terbiasa bahkan terobsesi dengan bahasa Arab atau kitab kuning, barangkali muncul pertanyaan, apakah kajian keislaman memerlukan bahasa Inggris? Jawabnya tentu positif: ‘ya’. Jika kita telusuri kajian-kajian ilmiah tentang Islam, apalagi tentang agama secara umum, literatur dalam bahasa Inggris amatlah banyak, baik yang berbentuk jurnal, buku hingga ensiklopedi. Saat ini, para sarjana yang mengkaji Islam dan menulis dalam bahasa Inggris, tidak lagi hanya orang-orang Barat (yang sering disebut orientalis), tetapi juga para sarjana Muslim sendiri. Dialog ilmiah yang terbuka dan kritis antar para ilmuwan kajian keislaman, semakin mudah dan umum dilakukan dalam bahasa Inggris. Pertemuan-pertemuan internasional kajian keislaman, baik di Indonesia ataupun di luar negeri, umumnya menggunakan bahasa Inggris. Apalagi, jika kita mengaitkan kajian keislaman dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sosiologi, antropologi, sejarah, sastra, filsafat, psikologi dan lain-lain, umumnya berkembang pesat dalam tradisi keilmuwan Barat yang banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, kajian keislaman yang menggunakan pendekatan interdisiplin, mau tidak mau akan bersentuhan dengan litaratur berbahasa Inggris.

Sayang sekali, kaum santri tradisional (paling tidak hingga generasi saya) umumnya masih menganggap bahasa Inggris itu tidak banyak gunanya. Saya masih ingat, bagaimana kelas bahasa Inggris yang diajar Pak Said di Pesantren Al-Falah, seringkali ditinggalkan teman-teman, dan yang mau bertahan di kelas kadangkala kurang dari separuh. Namun, saat ini tampaknya pandangan para santri sudah banyak berubah. Mereka sudah menyadari betapa penting bahasa Inggris itu. Tinggal yang menjadi kendala antara lain adalah perasaan minder, kurang percaya diri, bahwa mereka akan mampu menguasai bahasa tersebut. Kalau dipikir-pikir, rasa minder itu sebenarnya sama sekali tidak beralasan, karena orang Indonesia pada umumnya sejak kecil sudah mengenal dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya generasi yang lebih muda, menguasai dua jenis bahasa itu dengan baik. Apalagi bagi kaum santri, yang sejak kecil sudah diperkenalkan dengan aksara Arab (Huruf Hijaiyah), melalui pembelajaran membaca Alqur’an, bacaan-bacaan salat dan doa. Setelah itu, mereka juga belajar bahasa Arab, hingga mampu membaca kitab gundul. Padahal, jika dibandingkan, tata bahasa dan sintaksis bahasa Arab jauh lebih rumit dibanding bahasa Inggris. Begitu pula, jika dibandingkan, pengucapan huruf dalam bahasa Arab jauh lebih beragam dibanding bahasa Inggris. Karena itu, alangkah salahnya jika ada anggapan di kalangan santri bahwa bahasa Inggris itu terlalu sulit dibanding bahasa Arab.

Ketika saya masih mahasiswa, salah seorang tokoh yang sering saya baca beritanya dan tulisannya adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Presiden ke-4 Indonesia. Ketika masih muda, Gus Dur adalah kolumnis di majalah terkemuka, Tempo, yang di zaman Soeharto pernah beberapa kali dilarang terbit, karena laporannya yang kritis terhadap pemerintah. Ketika Gus Dur jadi presiden, kumpulan kolomnya di Tempo itu diterbitkan ulang dalam bentuk buku. Saat itu, Gus Dur mengomentari visi majalah tersebut yang cukup terkenal: “Tempo, enak dibaca dan perlu.” Kata Gus Dur, kalimat itu juga bisa diubah menjadi: “Tempe, enak dibacem dan perlu”, ungkapan humoris sekaligus sarat makna. Barangkali, meneruskan Tempo dan Gus Dur, kita bisa mengatakan: “Bahasa Inggris, mudah dipelajari dan perlu.”

*)Rektor UIN Antasari Banjarmasin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *