Juli 26, 2024
kitab kuning

ilustrasi., Kitab kuning. Foto-Net.

Oleh: Wafi Hasbullah*

Ketika mendengar kitab kuning disebut, maka yang terlintas di pikiran kita adalah buku berbahasa arab yang memuat ilmu agama dan kertasnya berwarna kuning. Walau gambaran seperti itu tidak sepenuhnya benar, karena di zaman sekarang banyak kitab yang kertasnya berwarna putih, dan muatannya tidak hanya melulu tentang agama, namun kenyataannya seperti itulah gambaran yang sudah melekat di pikiran masyarakat.

Bukan hanya itu, kitab kuning juga identik dengan santri, kiai, dan pesantren. Bahkan bagi sebagian kalangan, ia dikaitkan dengan ketertinggalan kaum sarungan. Ya, meski tidak begitu lantang, namun sayup-sayup kita masih mendengar sebagian orang yang berkata demikian. Mereka menganggap kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren sudah tidak relevan dengan zaman. Bukan tanpa alasan. Pendapat itu lahir karena kenyataannya kitab kuning yang umumnya dijadikan kajian pokok di pesantren itu ditulis berabad-abad lalu, di masa teknologi tidak semaju sekarang. Beberapa kasus-kasus yang diusung dalam kitab kuning sudah tidak ditemukan lagi di masa kini.

Lalu untuk apa masih berkutat dengan lembaran-lembaran kuno itu? Benarkah kitab kuning sudah tidak layak dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan beragama di masa sekarang?

Satu hal yang perlu dipahami, ilmu agama bukan berasal dari penemuan atau percobaan seperti sains. Ia datang dari Allah Ta’ala yang mewahyukan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Kemudian diajarkan kepada para sahabat, lalu diteruskan para tabi’in, sambung menyambung hingga saat ini. Dari wahyu itulah sumber pokok ajaran Islam lahir, yaitu Al Qur’an dan Hadist. Ia dikaji oleh para ulama yang memiliki kapasitas keilmuan sebagai seorang mujtahid. Hasil-hasil ijtihadnya lalu dikodifikasi kemudian dilanjutkan terus menerus untuk menjawab permasalah yang ada di setiap ruang dan waktu.

Menggali hukum dari sumber utamanya, yakni Al Qur’an dan Hadist tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Diperlukan banyak keahlian seperti keterampilan berbahasa arab yang mumpuni, memahami seluk beluk Al Qur’an dari nasikh mansukh, lafadz ‘am dan muqayyad, mujmal, mubayyan, latar belakang turunnya ayat, menguasai ilmu hadist, dan lain-lain.

Orang yang memiliki kapasitas untuk memproduksi hukum langsung dari sumbernya disebut mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil. Mereka yang mencapai kapasitas ini seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Di bawah level tertinggi mujtahid masih ada beberapa level mujtahid yang lain, seperti mujtahid tarjih, mereka yang berada pada level ini memiliki kapasitas untuk memilah dan menyeleksi pendapat-pendapat Imam Madzhab yang diikutinya dari pendapat yang kuat dan lemah, seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

Di zaman mereka ini tradisi menulis dalam kejayaan. Para ulama yang berkompeten menulis buku sesuai keahliannya masing-masing. Mulai dari ilmu fikih, tauhid, gramatika bahasa arab, hingga tasawwuf. Bahkan setiap karya tulis ilmiah dihargai dengan emas yang beratnya setara buku yang ditulis tersebut. Dan tentu saja, objek kajian yang dimuat dalam buku-buku mereka adalah permasalahan yang sesuai dengan masanya.

Oleh karena itu, sebagian permasalahan yang mereka bahas sudah tidak ada lagi di masa sekarang, masalah perbudakan misalnya. Namun, dibandingkan kasus yang sudah tidak ada, permasalahan yang mereka pecahkan pada masa itu juga masih banyak yang relevan dengan zaman sekarang, ada yang sama persis, ada yang memiliki kemiripan. Dan yang menakjubkan adalah, dalam satu judul buku mereka tidak hanya menulis ribuan hasil ijtihad, namun juga menyertakan dalil-dalil atau landasan hukumnya.

Hasil-hasil ijtihad mereka yang masih berlaku sekarang, atau yang memiliki kemiripan dengan kasus kekinian inilah yang bisa dijadikan koridor untuk menjalani hidup beragama bagi kita di masa sekarang.

Dalam kajian ilmu ushul fiqih, salah satu sumber hukum adalah qiyas. Kasus fikih yang tidak dicantumkan dalam nash, diqiyaskan atau dikaitkan dengan kasus yang ada dalam nash karena kesamaan illat hukum atau alasan yang melatar belakangi timbulnya hukum.

Untuk bisa memutuskan hukum kasus kekinian (far’un), maka perlu terlebih dahulu mengetahui hukum kasus lama yang sama atau mirip yang ada dalam nash atau yang sudah diputuskan oleh para mujtahid (ashl), kemudian dikaitkan dua kasus tersebut.

Lantas, bagaimana kita bisa memecahkan kasus fikih kekinian kalau tidak mengetahui kasus yang sama atau mirip yang sudah diputuskan hukumnya oleh para mujtahid? Dan bagaimana kita bisa mengetahui hukum yang sudah diputuskan oleh para mujtahid kalau tidak mempelajari karya-karya mereka?

Oleh karena itu, mempelajari kitab-kitab kuning klasik tetaplah penting untuk dijadikan pedoman dalam menjawab kasus-kasus fikih kekinian. Seiring berkembangnya zaman, kasus-kasus fikih pun semakin beragam. Namun semua resep untuk menjawab tantangan zaman sudah dimuat oleh para ulama terdahulu dalam kitab kuning yang menawan.

*) Anggota LTN NU Kabupaten Banjar

——————————————————————–
Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *