ALBANJARI.COM, MARTAPURA – Menjelang kewafatannya Tuan Guru Husin Ali atau KH Husin Ali tak ingin disentuh, bahkan oleh keluarganya.
Diceritakan KH Muhammad bin Husin –anak dari Tuan Guru Husin Ali-, perilaku ayahnya memang ganjil. Beliau sangat perhatian terhadap kesucian diri dan pakaian. Hal tersebut mungkin bagi sebagian orang terlihat berlebihan. Apalagi menjelang beliau berangkat ke Tanah Suci pada 1978 untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diketahui sebagai akhir hayat beliau, beliau tak mau disentuh bahkan oleh keluarga sendiri.
Setelah membangun Kubah Datuk Kelampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari) dan meretas jalan darat menuju ke sana, kata Guru Muhammad, Guru Husin Ali berhenti mengajar di Pondok Pesantren Darussalam, Martapura, Kalimantan Selatan.
Mulai saat itu, Guru Husin Ali tidak mau disentuh orang lain. “Bahkan dengan anak sendiri,” ujar Ustaz Muhammad.
Menjelang wafat, Tuan Guru Husin Ali berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji di tahun 1978. Sebelumnya, beliau menyempatkan diri ke tempat KH Muhammad Syarwani Abdan di Bangil, Surabaya. Dari Surabaya, mereka bersama-sama berangkat menuju Tanah Suci.
Diceritakan KH Syaifuddin Zuhri, selepas menunaikan ibadah haji, Tuan Guru Husin Ali menunjuk beberapa orang untuk memandikan jenazahnya, sebelum beliau wafat. Di antara yang diminta beliau untuk memandikan jenazah beliau adalah KH Muhammad Syarwani Abdan.
Firasat tentang kewafatan itu ternyata benar adanya, sebab tak lama kemudian, Tuan Guru Husin Ali benar-benar wafat. Jenazah beliau disalatkan di Masjidil Haram, Makkah.
Saat itu, menurut Pengasuh Majelis Bani Ismail Banjarmasin itu, keganjilan kembali mengiringi proses pemakaman. Tiba-tiba saja, ada banyak orang mengiringi pemakaman Guru Husin Ali.
“Tuan Guru (KH Muhammad Syarwani Abdan, red) ketika ditanya juga mengaku tidak tahu dari mana asal orang-orang itu,” jelas pengasuh majelis Bani Ismail, Banjarmasin.
Jenazah Tuan Guru Husin Ali dimakamkan di pemakaman Ma’la, Makkah. Tidak jauh dari makam ayah beliau (Syekh Ali Al Banjari), kakek beliau (Syekh Abdullah ‘Wujud’ Al Banjari), dan ulama asal Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi Al Bantani.