Juli 26, 2024
Kewajiban Wudhu

Setiap Muslim menyepakati kewajiban wudhu, meski tak satupun Muslim pasca Nabi Saw berhak mengklaim otoritas agama.

Oleh: Yunizar Ramadhani*)

WUDHU adalah salah satu bagian penting dalam ibadah ritual Islam. Bahkan boleh dibilang yang terpenting, karena wudhu merupakan pintu masuk menuju shalat, ibadah yang paling pertama dihitung di hari kiamat nanti, menurut Hadis Nabi Saw. Shalat tidak akan sah secara hukum – dan karena itu tidak diberikan pahala – bila tetap terlaksana tanpa didahului dengan berwudhu.

Wudhu, dengan demikian, wajib hukumnya. Wajib berarti bila seseorang mengerjakannya ia mendapat pahala dan jika tidak ia kerjakan, mendapat dosa. Jadi kewajiban wudhu bukan hanya berdampak pada legalitas (sah-tidaknya) shalat, tapi konsekuensinya juga bersifat teologis. Inilah yang membedakan hukum Islam dengan, misalnya, hukum positif.

Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid menerangkan bahwa kewajiban wudhu itu berlaku berdasarkan tiga sumber utama dalam hukum Islam, yakni dari yang tertinggi: al-Kitab (al-Qur`an), al-Sunnah (ujaran, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad Saw) dan Ijma` (kesepakatan para ahli hukum).

Dalam doktrin Islam Ahlus Sunna Wal Jama’ah (Sunni), ketiga sumber utama tadi – dan satu lagi yaitu Qiyas – menjadi dalil utama hukum Islam. Perihal dalil ini dan kaitannya dengan otoritas agama akan diulas secara singkat di bagian akhir tulisan ini.

Dalil kewajiban wudhu dari ­al-Kitab adalah firman Allah di surah al-Ma`idah ayat ke-6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu telah berdiri menuju shalat maka basuhlah wajahmu dan tangan-tanganmu ke siku dan usaplah kepalamu dan kakimu hingga ke mata kaki…” (terjemahan penulis).

Ibnu Rusyd menginformasikan bahwa semua Muslim sepakat bahwa ujaran Allah Swt di atas mengandung makna kewajiban bagi siapapun yang lazim bagi dia shalat. Mengenai mengapa ayat tersebut mengandung makna kewajiban, atau bagaimana muncul kesimpulan bahwa kalimat dalam ayat itu bermakna kewajiban, akan kami coba jelaskan pada kesempatan lain.

Ayat tersebut merupakan satu-satunya ayat yang secara detil membahas wudhu dan tata caranya dalam al-Qur`an. Oleh karena itu, ayat ini akan selalu kita rujuk ketika nanti kita mengulas perdebatan (ikhtilaf) pendapat para ulama Fiqih mengenai tata cara berwudhu. Sekedar untuk kita ketahui, perdebatan-perdebatan itu terjadi karena perbedaan cara mereka membaca dan memahami ayat ini. Satu ayat, beragam fatwa.

Adapun dalil kewajiban wudhu dari Sunnah Nabi Saw terkandung dalam dua Hadits berikut:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ

[Rasulullah Saw bersabda] “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak pula menerima sedekah bersyarat.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Daud dengan redaksi terbalik).

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

[Rasulullah Saw bersabda] “Allah tidak menerima shalat orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Menurut Ibnu Rusyd, kedua Hadits di atas telah ditetapkan secara mutlak sebagai dalil kewajiban berwudhu oleh para pemuka ulama (imam) yang berpegang kepada dalil-dalil tekstual (naqliy).

Sementara dalil kewajiban wudhu berdasarkan Ijma’ ulama fiqih adalah bahwa tak pernah tercatat satu orang pun dari kaum Muslim yang menyatakan perihal berbeda.

Tak ada satupun orang Islam, baik dari kalangan ulamanya maupun awam, dari kelompok dan aliran manapun, yang mengatakan wudhu tidak wajib hukumnya. Walau begitu, banyak juga orang yang shalat tapi tidak berwudhu.

Namun secara umum, adat atau kebiasaan kaum Muslim menunjukkan bahwa kewajiban wudhu telah diterima. Sejak zaman kenabian hingga hari ini, semua Muslim pada umumnya berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat. Dengan demikian, tak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk menolak kewajiban wudhu.

Dalil sebagai Landasan Hukum

Mengapa hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif, senantiasa berpijak pada suatu dalil? Apa yang dimaksud dengan dalil dan bagaimana fungsinya? Mari kita lihat analogi berikut.

Suatu saat anda mengendarai kendaraan roda dua tanpa menggunakan helm. Di tengah perjalanan seorang polisi menghentikan anda dan memberi anda surat tilang yang harus anda tebus melalui pengadilan. Polisi itu menilang anda karena anda telah melanggar peraturan bahwa setiap pengendara roda dua wajib mengenakan helm.

Lalu anda bertanya: “mengapa saya harus mengenakan helm saat berkendara?” Sang polisi bisa saja menjawab: “helm melindungi kepala anda sekiranya anda terjatuh dari kendaraan atau kecelakaan menimpa anda.” Tapi itu bukanlah jawaban seorang ahli hukum atau seorang penegak hukum.

Jawaban polisi tadi boleh kita anggap sebagai dalil atau dasar hukum, namun jenisnya adalah dalil rasional (‘aqliy). Dalil rasional tidak cukup untuk menjadikan suatu hukum berlaku secara formal, atau dalam arti dapat dipatuhi semua individu dalam masyarakat di satu sisi dan bisa ditegakkan oleh para penegak hukum yang secara sah berhak menindak pelanggarnya.

Polisi tadi seharusnya menjawab: “kewajiban helm sudah diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 291 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan ‘setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia … dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).”

Jadi hukum baru dapat berlaku dan ditegakkan secara formal jika memiliki dalil yang bersifat formal pula. Keadaan juga berlaku bagi hukum Islam. Apabila ditanya “mengapa kita wajib berwudhu?”, tidaklah cukup anda menjawabnya dengan jawaban seperti: “wudhu membersihkan diri kita karena kita akan menghadap Allah Sang Raja Manusia, mengingat menghadap atasan saja kita harus berkeadaan bersih.”

Orang yang mengerti hukum harus menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebutkan “undang-undang”, seperti: “dalam surah al-Ma`idah ayat 6 Allah telah memerintahkan kita untuk berwudhu sebelum melaksanakan shalat”. Jika perlu, ia dapat melafalkan bunyi ayat tersebut untuk menegaskan supremasi undang-undang hukum Islam.

Para ulama ahli hukum telah menyatakan bahwa “undang-undang dasar” hukum Islam adalah al-Qur`an, kumpulan firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, dan Sunnah, yakni perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi Saw yang dikabarkan melalui Hadits-Hadits. Hal ini diakui semua Muslim berdasarkan perkataan Nabi Saw yang terkenal: “telah kutinggalkan dua perkara yang jika berpegang padanya, kamu takkan tersesat selamanya, yaitu al-Kitab (al-Qur`an) dan Sunnah Rasul-Nya.”

Teks sebagai Otoritas Agama

Perkataan Nabi Saw tersebut menarik, karena menjelang wafat beliau menyerahkan otoritas agama bukan kepada seseorang atau suatu lembaga, melainkan kepada teks – dan setelah dilakukan tadwin (kodifikasi) dua abad setelah Nabi Saw wafat benar-benar menjadi sesuatu yang tertulis. Teks (Arab: nash) dapat difahami sebagai sekumpulan kata-kata yang menyampaikan serangkaian makna kepada orang yang membacanya.

Sifat teks memang menyampaikan makna di satu sisi, tapi di sisi lain oranglah yang membacanya. Para filsuf telah menyatakan manusia merupakan makhluk yang terikat dengan ruang dan waktu dan nalarnya tak lepas dari kebudayaannya.

Karena itu, teks selalu terbuka untuk berbagai penafsiran, sehingga tidak ada satu orang atau lembaga pun yang berhak menyatakan penafsirannya yang benar dan berhak menyandang otoritas agama setelah Nabi Muhammad, sang nabi penutup turunnya wahyu.

Inilah kiranya yang membedakan Islam dengan agama lain dalam menjalankan syari’atnya. Agama Katolik, misalnya, menyerahkan otoritas agama kepada seorang Paus atau kepada lembaga kepausan. Dengan itu, setiap keputusan terkait ajaran agama dipegang oleh Paus. Apapun yang ia katakan dan fatwakan menjadi ajaran agama. Hal semacam ini jelas tidak berlaku dalam Islam.

Meski demikian, supremasi teks sebagai pemegang otoritas agama Islam tidak menghentikan sebagian Muslim untuk berusaha merebut otoritas tersebut. Dapat dikatakan, sejarah Islam pasca Nabi Saw diwarnai oleh perebutan-perebutan itu hingga hari ini. Namun sejak Nabi Saw tak pernah mewariskan otoritasnya kepada siapapun atau lembaga manapun, teks akan selalu berdiri tegak dan manusia akan terus menafsirkannya dengan beragam makna.[]

*) Penulis adalah guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura, bagian dari LTN PCNU Kab. Banjar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *