Oleh : Akhmad Wafi*
Dan (kami juga yang telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika ia berkata kepada mereka “mengapa kalian melakukan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelummu?”(80) sesungguhnya kamu mendatangi pria untuk melampiaskan nafsumu, bukan kepada wanita, bahkan kalian adalah kaum yang jahil.”(81)
Manusia merupakan makhluk paling sempurna dan mulia di antara segala ciptaan Allah Ta’ala. Berbeda dengan binatang yang tidak bisa membedakan baik dan buruk, manusia memiliki akal untuk memikirkan dan memilah sesuatu yang baik dan buruk untuknya. Dengan akal itu pula manusia dapat membangun peradaban yang maju, serta bertindak dengan perilaku yang baik dan beradab.
Bukan hanya diberi akal, manusia juga diberikan nafsu. Di sini letak perbedaan manusia dengan malaikat. Malaikat hanya diberi akal namun tidak dengan nafsu. Sedangkan manusia diberi kedua-duanya, yakni akal dan nafsu. Dengan nafsu itu, manusia memiliki keinginan untuk makan, minum, tidur, berkembang biak, mencari kebutuhan hidup, dan lain-lain.
Namun, seringkali manusia dikalahkan dan diperbudak oleh nafsunya. Apabila sudah seperti itu, manusia tidak lagi peduli pada akibat negatif yang akan menimpanya. Yang ada dipikirannya adalah nafsu yang bergejolak dalam diri bisa terpenuhi atau terlampiaskan. Contohnya seperti perbuatan korupsi. Ia dilatar belakangi oleh gejolak nafsu untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara mudah dan instan. Tidak peduli seberapa besar negara dirugikan oleh perbuatannya, juga tidak peduli seberapa banyak warga negara yang haknya ia rampas. Contoh lain seperti penyimpangan seksual yang sekarang mulai marak terjadi. Siaran berita di TV atau media online tidak jarang memberitakan tentang kasus penyimpangan seksual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, seperti LGBT, pedofilia, begal payudara. Adapula peristiwa kelainan seksual yang sempat menggemparkan beberapa tahun lalu, yaitu kasus kain jarik.
Latar Belakang
Penyimpangan seksual saat ini bisa dikatakan sebagai penyakit sosial yang sudah kronis. Ia bukan hanya masalah yang dihadapi Indonesia, bahkan dunia. Sejak tahun 2015, Mahkamah Agung Amerika mengesahkan pernikahan berjenis kelamin sama. Sebelum Amerika, beberapa Negara juga sudah melegalkan hal tersebut. Bahkan, mantan perdana menteri Islandia, Johanna Siurdardottir telah melakukan pernikahan sejenis pada tahun 2010.[1]
Dan yang terbaru, yaitu kontroversi pada perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar. Pemberlakuan aturan yang melarang LGBT dan segala yang berkaitan dengannya mengundang banyak kecaman. Bahkan, timnas Jerman sampai berfoto bersama dengan pose menutup mulut dengan tangannya sebagai simbol dibungkamnya kebebasan. Itu mengindikasikan, bahwa penyimpangan seksual seperti LGBT sudah sampai dianggap sesuatu yang biasa, bahkan bagian dari Hak Asasi Manusia.
Hal ini sangat meresahkan. Selain merugikan orang lain, kelainan seksual juga merupakan penyakit mental yang tidak boleh dibiarkan tumbuh di tengah masyarakat, sebab ia bertentangan dengan norma sosial, hukum, agama, dan adat.
Tujuan Penulisan
- Memberikan pemahaman tentang pengertian dan jenis-jenis penyimpangan seksual
- Memahami bagaimana ilmu fikih menyikapi penyimpangan seksual
- Memberikan saran dan solusi bagaimana cara menanggulangi fenomena penyimpangan seksual di tengah masyarakat dari sudut pandang ilmu fikih
Mengenal Lebih Jauh Tentang Penyimpangan Seksual
Kelainan atau penyimpangan seksual memiliki nama populer yaitu paraphilia. Merupakan gairah seksual yang terjadi secara berulang kepada sesuatu yang tidak lazim, seperti barang, situasi, dan target yang mereka jadikan sebagai pelampiasan, yang pada umumnya, objek tersebut tidak dapat memancing birahi. Penyimpangan seksual bisa dikatakan sebagai gangguan psikologis dan dapat dikategorikan penyakit apabila ia terjadi secara intens dan berulang-ulang.[2]
Penyimpangan seksual atau paraphilia memiliki jenis yang beragam, antara lain :
- Pedofilia
Yaitu kelainan seksual yang memiliki ciri ketertarikan kepada anak-anak di bawah usia 13 tahun. Di antara cara orang yang mengidap kelainan seksual yang satu ini untuk memenuhi hasratnya adalah dengan mengajak korban melihat si pelaku bermasturbasi, menyentuh organ kelamin anak, dan lain-lain.
- Eksibisionisme
Merupakan perilaku ketika seseorang gemar mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang asing. Ia memiliki kecenderungan untuk membuat korbannya terkejut, takut, atau terkesan dengan perilakunya.
- Fetisisme
Fetisisme adalah kelainan seksual yang membuat penderitanya memiliki gairah seksual kepada benda mati, seperti kain jarik, sepatu, pakaian dalam, dan benda-benda mati lainnya. Tidak jarang benda-benda tersebut ia gunakan untuk melampiaskan hasrat seksualnya.
- Masokisme
Orang yang menderita kelainan ini kerap mendapat kepuasan seksual apabila mendapat kekerasan dari pasangannya, baik kekerasan secara lisan hingga fisik. Kelainan jenis ini bisa mengakibatkan cedera fisik hingga kematian.
- Sadisme Seksual
Kelainan yang satu ini merupakan penyakit yang paling tidak wajar. Pengidapnya bisa mendapat kepuasan ketika ia melakukan sesuatu yang sadis kepada orang lain. Bisa dengan pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan.[3]
- Homoseksual, Lesbianisme, Biseksual, dan Transgender
Walau pun sejak 1973, ilmu kedokteran tidak lagi menganggap LGBT sebagai penyakit seksual[4], namun apabila disorot dengan kacamata agama dan adat istiadat, maka empat hal tersebut termasuk penyimpangan dan penyakit di tengah masyarakat. Ia dapat menimbulkan keresahan dan mudharat lainnya.
Homoseksual adalah istilah untuk merepresentasikan seseorang_dalam hal ini pria_ yang memiliki ketertarikan secara emosional, personal, dan seksual kepada orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. Adapun lesbian, sama dengan homoseksual, namun pengidapnya adalah perempuan. Kemudian, biseksual merupakan istilah untuk orang yang memiliki ketertarikan personal, seksual, dan emosional kepada pria maupun wanita. Lalu transgender, ia adalah orang yang merasa bahwa dirinya terlahir dengan kesalahan pada gender. Misalnya seorang lelaki, ia merasa seharusnya terlahir sebagai wanita, begitu pula sebaliknya. Perasaan itu membuatnya bertingkah seperti lawan jenisnya, bahkan berdandan hingga mengubah alat kelaminnya.
Ilmu Fikih, Mampukah Menanggulangi Kelainan Seksual?
Salah satu hal yang menakjubkan dari agama Islam adalah, ia memiliki peraturan yang tersusun dan rapi, yang mana peraturan tersebut berasal dari nas Al-Qur’an dan juga Sunnah, kemudian digali sumber hukum itu hingga melahirkan peraturan atau hukum-hukum fikih yang menjadi pedoman seorang muslim dalam menjalani kehidupan individual maupun sosial. Itu bukan berarti Islam adalah agama yang otoriter, tidak sama sekali. Setiap peraturan atau hukum yang ditetapkan dalam agama Islam selalu mengandung hikmah dan alasan yang luhur, serta manfaatnya kembali kepada pengamalnya. Secara garis besar, tujuan utama dari hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemanfaatan dan mencegah kerusakan (jalbul masalih wa daf’ul mafasid).
Hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia dalam Islam itu disebut ilmu fikih. Ia mengatur banyak dimensi dalam kehidupan manusia, mulai dari ibadah, muamalah, pidana, hingga pernikahan. Islam memahami, adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa manusia memiliki nafsu, dan itu adalah sesuatu yang normal dari diri manusia. Ia perlu makan, minum, hingga berkembang biak. Maka Islam pun membuat peraturan bagaimana menyalurkan nafsu yang benar dan tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan, baik untuk dirinya dan orang lain. Oleh karena itu, ruang lingkup pernikahan atau hubungan antara lawan jenis juga diatur oleh Islam dengan begitu rapi.
Sejak kedatangannya, Islam banyak merombak bahkan menghapus tradisi dalam pernikahan apabila ia mengandung kemudharatan, seperti nikah mut’ah[5], nikah syiga[6]r, hubungan sesama jenis, dan lain-lain. Bentuk hubungan lawan jenis yang menyimpang dan mengandung kemudharatan tentu tidak bisa diterima oleh Islam. Dalam hal ini, Islam sangat realistis. Untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan, khususnya dalam ruang lingkup pernikahan, maka Islam pun juga mengatur segala hal yang menjadi perantaranya, seperti melarang berduaan antara lawan jenis, diwajibkannya menutup aurat, diharamkannya menonton sesuatu yang dapat memancing birahi, dan sebagainya. Sebuah kaidah fikih mengatakan, “lil wasail hukmu al-maqasid”, yang artinya, perantara memiliki hukum seperti tujuannya.
Dalam pandangan ilmu fikih, cara menyalurkan kebutuhan biologis yang dianggap sah adalah dengan pernikahan yang memenuhi syarat, yaitu ada dua calon pengantin pria dan wanita, akad nikah, dua saksi, dan wali. Apabila salah satu dari lima rukun tersebut tidak ada, maka pernikahan dianggap tidak sah.[7] Maka dapat dipahami, pernikahan sesama jenis dalam pandangan Islam adalah tidak sah. Adapun melampiaskan kebutuhan biologis dengan cara yang tidak direstui agama, maka hal tersebut dikategorikan perbuatan haram, bahkan tercela.
Mengenai fenomena penyimpangan seksual di zaman sekarang, apabila disorot dengan kacamata ilmu fikih, maka bisa disimpulkan, tidak ada ruang bagi itu semua untuk ditoleransi. Misalnya lesbian, gay, biseksual, dan transgender, Islam sudah terang-terangan menolak dan mengancam pelakunya, melalui ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW.
Di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman :
وَلُوطاً إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (80)
أَإِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّساءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (81)
Artinya : Dan (kami juga yang telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika ia berkata kepada mereka “mengapa kalian melakukan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelummu?”(80) sesungguhnya kamu mendatangi pria untuk melampiaskan nafsumu, bukan kepada wanita, bahkan kalian adalah kaum yang jahil.”(81)[8]
Dalam ayat ini, perbuatan homoseksual disifati sebagai al-fahisyah. Quraisy Shihab menafsiri kata tersebut sebagai puncak dari perbuatan buruk, kemudian penambahan alif lam pada kata tersebut mengindikasikan bahwa keburukan perbuatan homoseksual sudah masyhur di tengah masyarakat.
Ketika ayat tersebut hanya menyebut laki-laki di dalamnya, bukan berarti perempuan diperbolehkan melakukan hubungan sesama jenis. Mafhum muwafaqoh atau pemahaman tersirat yang selaras dari ayat tersebut adalah perempuan pun juga dilarang melakukan hubungan sesama jenis. Karena seperti homoseksual, lesbianisme juga merupakan perbuatan menyimpang yang bertentangan dengan tujuan Islam dalam menjalin hubungan. Biseksual pun juga demikian. Islam hanya merestui pernikahan lawan jenis dengan cara yang sudah diatur, sedangkan seorang biseksual, ia melampiaskan nafsunya kepada dua jenis, dan itu tidak dibenarkan dalam pandangan hukum Islam.
Adapun transgender, maka terdapat sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda yang artinya :
“Allah Ta’ala melaknat lelaki yang bertingkah seperti perempuan, dan perempuan yang bertingkah seperti lelaki. Keluarkanlah/usir mereka dari rumah-rumah kalian”.[9]
Maka sudah sangat jelas. Allah Ta’ala melaknat seorang lelaki yang bertingkah seperti perempuan, begitu pula sebaliknya. Qiyas aulawi dari hadist tersebut, bertingkah seperti lawan jenisnya saja tidak boleh, apalagi sampai mengubah alat kelamin.
Sedangkan penyimpangan seksual lainnya, seperti sadisme seksual, pedofilia, fetisisme, dan lain-lain, semuanya diharamkan sebab bertentangan dengan tujuan utama syariat, yaitu menarik kemaslahatan, dan menolak kemudharatan. Di dalam penyimpangan-penyimpangan tersebut, terkandung banyak unsur yang menyebabkannya diharamkan. Diantaranya: Pertama, karena mengandung kemudharatan, baik untuk diri sendiri atau orang lain, seperti yang ada pada sadisme seksual dan masokisme. Kedua, mengganggu ketentraman publik, seperti yang terjadi pada fetisisme dan eksibisionisme. Ketiga, merusak moral, seperti pada perilaku pedofilia yang sasarannya adalah anak-anak. Perbuatan tersebut akan membuat trauma dan merusak mental seorang anak. Sebuah kaidah fikih mengatakan “ad-dararu yuzalu”, yang artinya, kemudharatan itu mesti dihilangkan.
Namun, seperti telah disebut sebelumnya, fikih sangat realistis dalam hal ini. Yang dilarang bukan hanya objek utamanya, namun juga perantara atau sarana yang dapat membawa kepada objek tersebut. Maka dapat dipahami, bahwa hukum fikih sudah mengatur semua hal baik secara eksplisit dan global. Artinya, hukum yang mengaturnya sudah ada dari kacamata ilmu fikih. Namun, seperti jenis hukum lainnya, hukum fikih juga tidak bisa ditegakkan kecuali dengan tindakan nyata dari objek yang dikenai hukum tersebut, yaitu manusia.
Solusi dan Saran
Berpijak pada poin bahwa hukum fikih sudah mengatur segala hal terkait pelampiasan hasrat seksual dengan sangat baik, bahkan hingga sarananya, dan bahwa hukum fikih tidak bisa tegak kecuali dengan tindakan nyata dari manusianya, maka penulis ingin sedikit memberikan saran dan solusi.
Demi menanggulangi permasalahan yang sekarang sudah semakin kronis ini, pemerintah harus bersikap tegas dengan membuat undang-undang yang jelas mengenai sanksi bagi para pelaku penyimpangan seksual, termasuk LGBT. Karena, apabila LGBT dibiarkan begitu saja, apalagi sampai dilegalkan dengan alasan HAM, maka itu akan berpotensi besar merusak moral warga Negara. Ia tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki budi pekerti luhur. Selain itu, prilaku LGBT juga tidak sesuai dengan sila pertama dan kedua. Seperti butir sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”, artinya kepatuhan terhadap Tuhan, sedangkan tidak ada agama yang memperbolehkan prilaku LGBT tersebut. Kemudian sila kedua yang berbunyi “Kemanusian yang adil dan beradab”. Prilaku LGBT dan penyimpangan seksual lainnya adalah potret ketidak beradaban terhadap sesama manusia dan Tuhan, sebab binatang yang tidak kenal adab saja masih melampiaskan hasrat seksualnya terhadap lawan jenis. Maka, pemerintah di sini adalah pemeran terpenting dalam hal pemberantasan penyimpangan seksual. Selain itu, harus dibuat kurikulum baru yang mengajarkan edukasi seksual agar generasi muda tidak terjerumus. Selain itu, organisasi-organisasi yang mendukung penyimpangan seksual harus dibubarkan dan jangan sampai diberi celah untuk mencapai tujuannya. Hal ini merupakan pengamalan kaidah fikih yang berbunyi “lil wasail hukmu al-maqasid”.
Hukum fikih yang berkaitan dengan masalah seksual harus dilegislasikan menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia, sebab hukum fikih sudah mengaturnya dengan rapi, tinggal manusia yang mengadopsi dan mengamalkannya demi mencegah kemudharatan penyimpangan seksual, agar generasi kita tidak rusak secara moral dan mental. Bahkan, perlu ada penambahan pasal dalam kitab-kitab fikih pada bab nikah, yaitu pasal tentang penyimpangan seksual, lalu diajarkan di madrasah-madrasah, pesantren, majlis ta’lim, hingga rumah tangga.
Daftar Pustaka
nisa, isma. “lindungi anak dari LGBT.” 2016, 1-15 maret.
Muhammad bin idris as-syafi’i. al-umm,vol.5, Maktabah Syamilah
https://kampuspsikologi.com/jenis-jenis-penyimpangan-seksual/ https://psikologi.uma.ac.id/jenis-kelainan-seksual-ini-perlu-diwaspadai–ada-fetish-disorder-dan-cara-mengatasi/
Hasyiyah al-bujairimi ala syarhi al-manhaj, vol.3. Maktabah Syamilah
Al-Yaqutunnafis fi madzhabi ibni idris, cet. Dar al-Minhaj
Sunan an-Nasa’i. Maktabah Syamilah
[1] nisa, “lindungi anak dari LGBT.”
[2] https://kampuspsikologi.com/jenis-jenis-penyimpangan-seksual/
[3] https://psikologi.uma.ac.id/jenis-kelainan-seksual-ini-perlu-diwaspadai–ada-fetish-disorder-dan-cara-mengatasi/
[4] nisa, “lindungi anak dari LGBT.”
[5] Nikah Mut’ah adalah pernikahan yang dibatasi jangka waktu tertentu, baik waktunya sebentar atau lama, misalnya, seorang lelaki mengucapkan akad,”engkau kunikahi dalam waktu sebulan atau sampai selama aku berada di desa ini.” (Kitab al-Umm li as-syafi’i, bab nikah al-muhallil wa nikahu al-mut’ah, vol. 5, hal.85).
[6] Nikah Syigar bisa didefinisikan sebagai dua orang lelaki bertukar perempuan mahramnya seperti anak atau saudara untuk dinikahi, dan maharnya adalah perempuan yang diserahkan itu. Berikut ilustrasinya : si A memiliki anak perempuan, dan si B juga memiliki anak perempuan, kemudian si A menikahi anak si B dengan mahar anaknya si A sendiri, begitu pula sebaliknya. (Hasyiyah al-bujairimi ala syarhi al-manhaj, vol.3, hal.334).
[7] Al-Yaqutunnafis fi madzhabi ibni idris, hal.115, cet. Dar al-Minhaj
[8] QS.al-‘Arâf [7]: 80-81
[9] H.R An-Nasa’I, no.9207, bab. La’nu al-mitarajjilati min an-nisa
Seluruh Isi Tulisan Menjadi Tanggungjawab penulis