Desember 21, 2024
Guru Zaki

Tuan Guru H Muhammad Zaki Lc. Foto-Istimewa.

ALBANJARI.COM, MARTAPURA – Di umurnya yang masih sangat muda (37), Tuan Guru Muhammad Zaki Lc menjadi ulama yang mengajar di Pondok Pesantren Darussalam dan mengasuh Madrasah Qiro’ah wat Tahqiq dan majelis taklim di Martapura, Kabupaten Banjar.

Menariknya, dia dikenal bukan karena Datunya adalah salah satu pimpinan di Pondok Pesantren Darussalam, tapi track record-nya yang mentereng; dia dikenal sebagai santri yang berotak encer ketika menimba ilmu di Universitas Al Ahgaff dan karya tulisnya yang berjumlah 50-an kitab –sebagian besar berbahasa arab.

Jika Guru Zaki ingin, ia bisa saja mengenalkan diri dengan “Buyut Guru Tuha”, yang berarti buyut dari ulama besar Martapura di zamannya, yakni Tuan Guru H Abdul Qadir Hasan; Pimpinan ke 4 Ponpes Darussalam sekaligus Pimpinan Nahdlatul Ulama pertama di Tanah Banjar. Ibunya yang bernama Hanisyah adalah putri dari Tholhah bin Abdul Qadir Hasan.

Tapi hal itu tidak dilakukan Guru Zaki. Ulama kelahiran Martapura (Pesayangan Selatan) 5 Agustus 1985 ini hanya membubuhkan nama ayahnya “Rafi’i” di belakang namanya. Seorang yang berprofesi pedagang, namun senang menghadiri majelis ilmu. Ketika Guru Zaki kecil, sekira umur 6 tahun, ia kerap diajak sang ayah menghadiri majelis ilmu Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Abah Guru Sekumpul.

Awal Mencintai Ilmu

Kecintaan Guru Zaki pada ilmu berawal dari sebuah peristiwa kecil dalam hidupnya. Suatu ketika dia diminta sang ibu untuk membeli keperluan ke warung, di tengah jalan dia mendapati banyak jamaah yang menghadiri majelis ilmu Tuan Guru H Supian Noor di Mushalla Darul Aman, Keraton.

“Melihat itu aku merasa malu, dan pulang. Tidak jadi belanja,” ujar Guru Zaki.

Mulai saat itulah ia kemudian mulai rajin menghadiri majelis ilmu ulama-ulama Martapura. Selain di majelis Sekumpul, Guru Zaki juga menghadiri banyak majelis, di antaranya; Tuan Guru Hatim Salman, Tuan Guru Wildan Salman, Tuan Guru Supian Noor, Tuan Guru Syamsuri, Tuan Guru Muaz, Tuan Guru Abdus Syukur.

Pendidikan formalnya berawal di usia 6 tahun, dia masuk Madrasah Ibtidaiyah Bangun Jaya, Martapura. Sekira 6 tahun di madrasah ibtidayah, ia kemudian meneruskan di tingkatan Tsanawiyah di madrasah yang sama dan lulus tahun 2000 M. Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Darussalam di tingkat Ulya (Aliyah), lulus di tahun 2003.

“Di tahun 2003 ada seleksi bea siswa dari Pemerintah Kabupaten Banjar ke Universitas Al Ahgaff, Hadramaut. Aku dinyatakan lulus tes bersama seorang teman bernama Muhammad bin Supian,” kenang Guru Zaki.

Sesampainya di Yaman, Guru Zaki dan sejumlah santri bea siswa tidak langsung ke Universitas Al Ahgaff, mereka terlebih dulu masuk ke sebuah “markas” yang khusus menggembleng santri non arab, yang belum mampu berbicara bahasa Arab dengan sempurna. Markas tersebut berada di Mukalla, Hadramaut. Setelah satu tahun di sana, Guru Zaki dinyatakan lulus dan melanjutkan masuk ke Universitas Al Ahgaff.

Di Universitas Al Ahgaff, nilai hasil ujian santri ditempel di majalah dinding. Sehingga santri-santri pintar dikenal namanya. Guru Zaki salah satu di antara nama yang dikenal, nilai ujiannya disebut-sebut selalu tinggi.

“Sebenarnya di tiga tahun awal, aku tidak fokus ke nilai ujian. Aku fokus menggembleng adik kelas. Hanya dua tahun terakhir saja, yang lebih fokus belajar,” kata Guru Zaki.

Meski diakui tidak terlalu fokus di masa-masa awal, nilai kumulatif Guru Zaki masuk 10 besar santri yang lulus Universitas Al Ahgaff tahun 2009, yakni angkatan ke sepuluh universitas tersebut sejak didirikan.

“Biasanya aku bikin ringkasan pelajaran dari kitab-kitab besar yang dipelajari. Itu sangat membantu untuk menghadapi ujian,” kata Guru Zaki.

Ringkasan-ringkasan tersebut kemudian dicetak ulang menjadi kitab. Ringkasan-ringkasan tersebut tidak saja memudahkan Guru Zaki, tapi itu juga bermanfaat bagi pembacanya, terutama santri yang ingin mempelajari kitab-kitab besar (yang diringkas) tersebut.

“Banyak adik kelas yang memakai ringkasan tersebut untuk memudahkan mereka belajar.”

Sepulang dari Hadramaut, Yaman, Guru Zaki terus melanjutkan aktivitas menulis kitab. Hingga tulisan ini diterbitkan, sudah ada 50-an judul kitab yang ditulis Guru Zaki.

Tidak hanya menulis kitab, ia juga mendirikan Madrasah Qiro’ah Wa Tahqiq, yang spesialisasinya adalah meneliti kitab, Bahasa Arab, dan Ilmu alat. Secara tidak langsung, Guru Zaki telah membangun pondasi kuat pada santrinya di bidang kepenulisan, khususnya menulis kitab berbahasa Arab.

Selain mengasuh madrasah yang didirikannya, Guru Zaki juga mengajar di Pondok pesantren Darussalam Martapura. Di pesantren tersebut, Guru Zaki tidak hanya mengajar, dia juga diminta mengurus perpustakaan.

Tips Produktif Menulis Kitab

Guru Zaki
Deretan kitab Guru Zaki yang akan dipajang di Banjar Corner, perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin. Foto-Albanjari.com.

Meski di tengah kesibukan mengajar di Pesantren Darussalam, Madrasah Qiro’ah Wa tahqiq dan sejumlah majelis yang diasuhnya, Guru Zaki masih sempat-sempatnya menulis kitab.

“Paling cepat seminggu, paling lambat ada juga yang bertahun-tahun,” kata Guru Zaki.

Kitab yang relatif mudah ditulis, kata Guru Zaki, adalah terkait metode belajar santri. Ia kerap melihat ada kelemahan-kelemahan santri dalam belajar. Dari penyakit santri itu, Guru Zaki membuat resep yang dapat mengobati luka mereka, sehingga mereka mudah menangkap pelajaran dengan mengaplikasikan isi kitab yang ditulisnya.

“Dari kelemahan santri, kita carikan solusinya.”

Adapun kitab yang penulisannya agak lambat adalah syarah kitab “Hidayatuz Zaman” karya Tuan Guru H Anang Sya’rani Arif, yakni kitab kumpulan hadits-hadits tanda-tanda kiamat.

“Karena itu ada proses pencocokan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sekarang,” jelas Guru Zaki.

Terkait bagaimana menjadi produktif, Guru Zaki membeberkan pengalamannya menulis kitab.

“Tentu saja kembali ke niat kita menulis. Dari hati dulu.”

Misalnya, ketika dirinya menulis tentang syarah Maulid Nabi SAW, dia menginginkan agar sejarah kelahiran Rasulullah SAW itu melekat di ingatan.

“Dengan menulis ada proses membaca, dengan proses membaca-menulis tersebut kita menjadi hapal sejarah Nabi.”

Kedua, mengukur kemampuan diri. Tanyakan pada diri, sanggup tidak menulis kitab yang ingin dikerjakan. Kalau merasa sanggup; Ada ilmunya, bisa mencari datanya, dan ada waktu yang cukup untuk riset dan menuliskannya, lakukan saja.

“Komitmen, jika kita sudah niat menulis.”

Dari pengalaman Guru Zaki, ia biasanya bisa menulis kitab jika ada orang lain meminta untuk menuliskan kitab tertentu dan ada waktu luang.

“Biasanya liburan sekolah.”

Karyanya Dikoleksi Perfustakaan UIN Antasari Banjarmasin

Banjar Corner
Ruangan Banjar Corner di perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin. Foto-Albanjari.com.

Kitab-kitab karya Guru Zaki dalam waktu dekat akan dipajang di perfustakaan UIN Antasari Banjarmasin. Di bawah komando Rektor, Prof Mujiburrahman, perpustakaan UIN Antasari memberikan perhatian khusus pada karya tulis orang Banjar, terutama para ulama.

Perhatian khusus tersebut terlihat dengan adanya ruangan cantik di lantai dasar perpustakaan tersebut dengan nama “Banjar Corner”. Di sana ada banyak karya tulis penulis Banjar dari ulama terdahulu, sejarawan hingga para pujangga.

Prof Mujib menginginkan “Banjar Corner” menjadi rujukan para peminat literasi Tanah Banjar di kemudian hari. Untuk memuluskan impiannya tersebut, dia kemudian “berburu” karya-karya tulis Orang Banjar. Salah satu yang kemudian dijadikan koleksi Perpustakaan tersebut adalah puluhan karya dari Guru Zaki Martapura.

Penulis: Muhammad Bulkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *