Juli 27, 2024
syekh muhammad arsyad Albanjari

Ilustrasi, Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. Foto-Net.

Oleh: Muhammad Shofian, AR*

Term madzhab yang berasal dari akar kata bahasa arab: Dzahaba – Yadzhabu memiliki makna secara etimologi: pergi, lalu dan menuju. Sedangkan menurut terminologi para yuris, Madzhab sering diartikan dengan produk hukum syari’at yang dihasilkan melalui ijtihad seorang imam.

Dari sekian banyak madzhab yang berkembang di timur tengah, madzhab Al-Imam As-Syafi’i menjadi salah satu madzhab yang memiliki pengikut sangat banyak dan mampu bertahan hingga sekarang. Banyaknya para ulama dan kitab-kitab yang mereka tulis secara defensif menjadikan madzhab ini terus bertahan dan berkembang hingga saat ini.

Madzhab Imam Syafi’i tercatat sebagai madzhab terbesar kedua setelah madzhab Hanafi. Madzhab ini tersebar hampir di seluruh dataran asia tenggara, tak terkecuali juga Indonesia.

Eksistensi Mazhab Imam Syafi’i berlanjut ketika ‘ulama-‘ulama Islam bermazhab Syafi’iyyah menyebarkan Islam melalui berbagai jalur seperti kerajaan, kesenian, pendidikan yang menyesuaikan dengan kultur dan budaya Indonesia yang menyebabkan Islam melekat dan mengakar pada kehidupan masyarakat muslim Indonesia.

Dari sekian banyak para ulama yang menyebarkan madzhab Imam Syafi’i di Nusantara ini, ada nama Syekh Muhammad Arsyad Albanjari yang dikenal sebagai seorang tokoh penyebar Madzhab Ahlus Sunnah ber madzhab fikih Syafi’i di Kalimantan, sebagaimana disebutkan Yusuf Halidi Dalam Buku “Ulama Besar Kalimantan Selatan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari”: Sejak waktu itu – didirikannya mahkamah syari’ah – hukum Islam berlaku di wilayah kerajaan Banjar berdasarkan madzhab syafi’i.

Legalisasi hukum Islam di kerajaan Banjar tidak lepas dari peran penting dua tokoh ulama dan umara, Sultan Tahmidullah sebagai umara dan Syekh Muhammad Arsyad sebagai ulama. Untuk memenuhi keperluan fatwa, Syekh Arsyad pun menulis beberapa kitab yang kemudian dijadikan referensi oleh mufti dalam berfatwa, dalam problematika ibadah misalnya, beliau menulis kitab Sabilal Muhtadin Li At-Tafaqquh Fi Amri Ad-Dien, sedangkan untuk hukum keluarga beliau menulis kitab yang berjudul Kitab An-Nikah.

Ketika melihat praktik ritual dan pemahaman yang berkembang di masyarakat, Syekh Muhammad Arsyad juga menulis sebuah kitab yang berjudul Tuhfah Ar-Raghibin yang isinya berupa kajian seputar teologi dan sekte-sekte dalam Islam.

Perlu juga diketahui, dalam undang-undang kerajaan Banjar, seorang mufti bertugas sebagai pemberi fatwa yang bersifat hukum-hukum keagamaan yang mencakup ibadah, hukum keluarga dan hukum acara perdata. Sementara untuk hukum pidana, pedomannya diserahkan kepada Sultan.

Kepakaran Syekh Muhammad Arsyad dalam Madzhab Syafi’i sudah tidak diragukan lagi, beliau tercatat sebagai salah satu tali penyambung rantai sanad Madzhab Syafi’i. Hal ini bisa dilihat dari jalur transmisi Madzhab Syafi’i yang disebutkan oleh Ulama kenamaan Abad 20 yang bergelar Musnid Ad-Dunya (Pakar Sanadnya dunia) As-Syekh Muhammad Yasin Bin ‘Isa Al-Fadani dalam kitabnya Al-Wafi Bi Dzail Tidzkar Al-Mashafi.

Kedalaman Syekh Muhammad Arsyad dalam menguasai madzhab Syafi’i tidak lepas dari peran penting para gurunya, merekalah yang sejatinya membentuk karakter fikih ala madzhab syafi’i dalam diri Syekh Muhammad Arsyad hingga pada akhirnya beliau menjadi seorang fakih dalam madzhab ini, hal ini tidak menutup bahwa beliau juga menguasai fikih komparasi madzhab.

Guru-guru beliau yang terkenal sebagai pakar-pakar madzhab syafi’i: Pertama, Syekh Muhammad Bin Sulaiman Al-Kurdi Al-Madani. Ulama berkebangsaan Kurdistan ini lahir pada tahun 1125 H. Al-Kurdi tumbuh besar dalam pangkuan orang tuanya yang sekaligus menjadi gurunya. Al-Kurdi menghabiskan masa kecil hingga dewasanya dengan mempelajari ilmu agama. Guru-guru Al-Kurdi di antaranya adalah: As-Syekh Muhammad Sa’id Sumbul (W: 1175 H), As-Syekh Muhammad Hayat As-Sindi (W: 1163 H), As-Syekh Abu Thahir Al-Kaurani (W: 1145 H) dan masih banyak lagi.

Al-Kurdi dikenal sebagai tokoh besar madzhab syafi’i abad ke 12 hijriyah, karya-karyanya yang banyak fokus terhadap kajian madzhab syafi’i menjadikan namanya harum dan dikenal hampir seluruh pelosok dunia Islam masa itu.
Tiga kitab Hasyiahnya terhadap syarah Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami atas matan Mukaddimah Al-Hadlramiyah sangatlah masyhur dan menjadi referensi para pengkaji madzhab syafi’i. Tiga kitab tersebut masing-masing berjudul: Al-Mawahib Al-Madaniyah ‘Ala Syarh Al-Mukaddimah Al-Hadlramiyah atau disebut sebagai Hasyiah Besar, Al-Hawasyi Al-Madaniyah ‘Ala Syarh Ibn Hajar ‘Ala Al-Mukaddimah Al-Hadlramiyah (resume dari hasyiah sebelumnya) dan Al-Maslak Al-‘Adl ‘Ala Syarh Mukhtashar Baa Fadl (resume kembali dari Al-Hawasyi Al-Madaniyah).
Selain itu, Al-Kurdi juga menulis karya yang memuat tentang kaidah-kaidah berfatwa dalam madzhab syafi’i dengan judul Al-Fawaid Al-Madaniyah.

Selain itu, Al-Kurdi juga menulis sebuah kitab yang mengupas tuntas perihal istilah kitab Tuhfah Al-Muhtaj Karya Syihabuddin Ibn Hajar Al-Haitami yang diberinya judul ‘Uqud Ad-Durar Fi Mushtalah Tuhfah As-Syekh Ibn Hajar. Kitab ini secara singkat mengkaji seputar istilah-istilah tarjih (pengunggulan) pendapat dalam kitab Tuhfah.

Selain itu, Al-Kurdi juga tidak jarang melayangkan kritiknya terhadap pendapat-pendapat yang secara istilah dianggap sebagai pendapat mu’tamad, namun setelah ditelusuri ternyata pendapat tersebut bukanlah pendapat mu’tamad.

Menurut Syekh Muhammad Zaini atau yang dikenal dengan sebutan Abah Guru Sekumpul QS, Syekh Muhammad Bin Sulaiman Al-Kurdi inilah yang memberikan julukan Al-Banjari kepada Syekh Muhammad Arsyad.

Kedekatan Syekh Muhammad Arsyad dengan Al-Kurdi ini tergambar dalam sebuah risalah kecil yang isinya berupa beberapa jawaban Al-Kurdi atas pertanyaan sang murid Syekh Muhammad Arsyad. Manuskrip risalah ini masih tersimpan rapi pada salah satu zuriyat Syekh Muhammad Arsyad di Dalam Pagar, Martapura.

Menurut hemat penulis, Syekh Arsyad banyak manimba ilmu dari gurunya ini, terutama dalam bidang fikih. Kalau kita cermati alur penulisan kitab Sabilal Muhtadin oleh Syekh Arsyad hampir mirip dengan dua karya Al-Kurdi, Hasyiah Kubra dan Hasyiah Wushta. Dari cara Syekh Arsyad menyajikan perbedaan pendapat antara Ibnu Hajar, Ar-Ramli dan Khatib Syirbini sama dengan penyajian sang guru.

Tidak berlebihan kiranya kalau kita katakan bahwa Kitab Sabilal Muhtadin merupakan manifestasi dari buah pemikiran sang guru yang tertuang dalam dua karyanya itu. Meski demikian, tidak menutup ruang juga bahwa Syekh Arsyad dalam Sabilal-nya memuat beberap masalah yang merupakan hasil dari ijtihad beliau terhadap problematika yang berkembang pada masyarakat banjar di saat itu.

Guru Syekh Muhammad Arsyad selanjutnya adalah As-Syekh Muhammad Bin Ahmad Al-Jauhari Al-Khalidi, beliau masyhur dengan julukan Al-Jauhari As-Shagir. Lahir pada tahun 1151 hijriyah di Mesir. Beliau berguru kepada banyak ulama, dan yang paling awal adalah ayahnya sendiri Syekh Ahmad Bin Al-Hasan Al-Jauhari. Selanjutnya, Al-Jauhari meneruskan studinya dengan sang kakak, Syekh Ahmad Bin Ahmad Al-Jauhari, kemudian Al-Jauhari melanjutkan berguru kepada para pembesar ulama yang ada di mesir pada waktu itu, di antaranya: As-Syekh ‘Athiyyah Al-Ajhuri, As-Syekh ‘Ali As-Sha’idi, As-Syekh Hasan Al-Jabarti dan masih banyak lagi yang lainnya.

Al-Jauhari dikenal sebagai seorang pakar fikih yang bermadzhab Syafi’i, pengakuan kepakarannya muncul dari mulut-mulut para ulama besar yang se zaman dengannya dan setelahnya. Sebagai bentuk perhatian Al-Jauhari terhadap madzhab Syafi’i beliau menulis beberapa karya terkait hal ini, dalam kajian kaidah madzhab misalnya, beliau menulis sebuah karya yang berjudul Ar-Raudlul Wasim Fi Al-Mufta Bihi Min Madzhab As-Syafi’i Al-Qadim, kitab ini berisikan kajian seputar pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang beliau fatwakan sebelum hijrah ke mesir, ada sekitar tujuh belas pendapat tersebut yang dikatakan sebagai pendapat yang lebih unggul ketimbang pendapat baru Imam Syafi’i.

Untuk menjaga transmisi madzhab Syafi’i, Al-Jauhari juga menulis sebuah kitab yang menjadi resume dari kitab Manhaj At-Thullab karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari yang diberinya judul Nahju At-Thalib Li Asyraf Al-Mathalib Yang kemudian diberikan komentar sendiri oleh Al-Jauhari dalam kitabnya Ithaf Ar-Raghib Ila Nahji At-Thalib.

Syaikhul Islam sendiri menulis Manhaj At-Thullab sebagai resmue dari kitab Minhaj At-Thalibin Wa ‘Umdah Al-Muftiin karya sang Muharrir madzhab Al-Imam Syaraf Ad-Din An-Nawawi yang menjadi referensi utama untuk mempelajari dan berfatwa dalam koridor madzhab Syafi’i.

Dari sang guru ini, Syekh Muhammad Arsyad mempelajari beberapa kitab yang diantaranya adalah Hidayah Ar-Rasyidin Al-Mustarsyidin Li Halli Syarh As-Sanusi ‘Ala Ummi Al-Barahin yang tidak lain adalah buah karya ayahanda sang guru Syekh Ahmad Bin Al-Hasan Al-Jauhari, kitab yang merupakan penjelasan lanjutan (lihat: hasyiyah) terhadap matan Ummu Al-Barahin dalam bidang teologi ini menjadi pelajaran wajib bagi para santri hampir di seluruh penjuru dunia islam.

Syekh Arsyad menyalin langsung kitab tersebut dari gurunya dengan ditulis sendiri menggunakan tangannya, dan manuskrip salinan kitab ini sampai sekarang masih tersimpan rapi pada salah satu dzuriyat beliau di dalam Pagar, Martapura.

Penulis berpendapat bahwa, pertemuan Syekh Arsyad dengan sang gurunya ini terjadi sekitar tahun 1168 hijriyah ketika sang guru berangkat dari mesir menuju kota suci untuk memenuhi panggilan Allah berhaji ke Baitullah, di mana Syekh Arsyad pada tahun tersebut sudah berada di kota Makkah.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh utama dalam penyebaran madzhab Imam As-Syafi’i di bumi kalimantan. Beliau juga merupakan tokoh besar yang memiliki andil dalam proses transmisi madzhab Syafi’i kepada generasi selanjutnya di Nusantara melalui karyanya kitab Sabilal Muhtadin.

Syekh Muhammad Arsyad juga menjadi pelopor utama berdirinya Mahkamah Syari’ah di kerajaan Banjar dengan berpedoman kepada fikih syafi’iyyah, hal ini juga menjadikan madzhab Syafi’i semakin kuat dan mengakar di masyarakat, karena adanya dukungan kuat dari pihak penguasa pada masa itu. Wallahu A’lam Bis Shawab.

*) Penulis adalah Sekretaris LBM PCNU Kabupaten Banjar.

——————————————————————–
Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *