Desember 8, 2024
hukum muslimah traveling sendirian

Ilustrasi, Muslimah traveling sendirian. Foto-Net.

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr wb, saya seorang ibu rumah tangga yang sering mengikuti ziarah makam wali keliling bersama rombongan ibu-ibu lain, yang ingin saya tanyakan, “Apa hukumnya seorang wanita melakukan perjalanan seperti di atas tanpa ditemani oleh suami atau mahram?”

Jawaban:

Islam adalah agama yang sangat mengagungkan wanita. saking tingginya kedudukan martabat dan harga diri seorang wanita di mata Islam, sampai-sampai soal perjalanan mereka pun diatur dengan baik dan utuh dalam Islam.

Lalu, apakah Islam benar benar melarang seorang perempuan untuk melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain tanpa mahram? atau islam juga melarang perempuan bepergian walaupun bersama wanita-wanita lain?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kalau kita perhatikan memang banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang larangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam terhadap perempuan untuk melakukan perjalanan atau safar dari satu kota ke kota yang lain, di antaranya hadits :
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Artinya, “Dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya,’” (HR Bukhari dan Muslim).

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يَحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا ومعها ذو مَحرم

Artinya, “Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, ’Janganlah seorang wanita bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya,’” (HR Tirmidzi).

Inilah di antara hadits-hadits yang menjelaskan tentang tidak bolehnya perempuan bepergian dalam jarak yang sekiranya boleh mengqashar salat (80 KM) tanpa ditemani mahramnya. Walaupun hadits ini kita temukan dalam beberapa riwayat, Nabi menyebutkan sehari semalam, kadang juga menyebutkan tiga hari tiga malam. Namun, dari hadits ini para ulama banyak berpendapat bahwa haram perempuan melakukan perjalanan tanpa mahrom.

Tetapi, ada hadits lain yang menjelaskan secara tidak langsung bahwa perempuan tidak dilarang melakukan perjalanan tanpa mahrom yaitu hadits :

“توشك الظعينة – أي المرأة- أن تسافر من مكة الى صنعاء لا تخاف الا الله والذئب على غنمها”

“Kondisi (aman) sudah hampir tiba sehingga seorang perempuan bepergian dari Mekah menuju Shan’ā dan ia tidak takut (diganggu oleh siapapun) kecuali pada Allah dan serigala yang bisa saja memangsa kambingnya.”

Hadist inilah yang dijadikan para ulama sebagai argumentasi di dalam membolehkan perjalanan perempuan tanpa mahrom. Oleh karena itu, jika kita menilik sedikit ke dalam literatur klasik fiqih Mazhab Syafi’i maka bisa kita temui di antaranya pada kitab Majmu’ Imam An Nawawi, di sana dijelaskan ikhtilaf(perbedaan) tersebut:

ونقل النووي في المجموع (8/342): ” قال الماوردي: ومن أصحابنا من جوَّز خروجها مع نساء ثقات، كسفرها للحج الواجب، قال: وهذا خلاف نص الشافعي، قال أبو حامد: ومن أصحابنا من قال: لها الخروج بغير محرم في أي سفر كان, واجبًا كان أو غيره”.

Artinya : Imam An Nawawi mengutip di dalam kitab Majmu’ mengutip perkataan Imam Mawardi. Al Imam Al Mawardi berkata, “Di antara Ashab Syafi’i ada yang memperbolehkan perempuan melakukan perjalanan asalkan bersama perempuan perempuan lain. Seperti hukum bolehnya perempuan melakukan perjalanan untuk haji yang wajib.”

Kemudian Imam Mawardi melanjutkan perkataan, “Nash ini memang menyalahi nashnya Imam Syafi’i.”

Al Ustadz Abu Hamid Al Ishfiroini berkata, “Perempuan boleh melakukan perjalanan tanpa mahrom dalam perjalanan apapun, baik dalam perjalanan yang wajib maupun perjalanan yang tidak wajib.”

Dari literatur ini, bisa kita simpulkan bahwa ulama ulama klasik fiqih pun telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Lalu yang jadi pertanyaan apa yang menyebabkan perbedaan pendapat ini? padahal hadits yang digunakan relatif sama.

Di antara alasan yang menjadikan perbedaan tentang hal ini adalah mengenai “ta’lil” atau penentuan illat hukum. Bagi ulama yang mengharamkan perjalanan perempuan tanpa mahrom mereka menggunakan hadits di atas dengan illat safar yakni perjalanan.

Jadi, perempuan jika melakukan perjalanan tanpa mahrom asal itu berbentuk perjalanan, berbentuk safar maka haram, karena illatnya adalah safar.

Sedangkan, ulama yang membolehkan perempuan berlayar tanpa mahrom mereka menggunakan hadits diatas dan melakukan ta’lil dengan alasan tidak amannya thoriq(jalan) atau dengan amannya jalan.

Jadi, konteks Rasulullah melarang perempuan berlayar di hadits di atas, itu karena ketidak amanan jalan.

Artinya, jika kita kembali ke kaedah ushul fiqih “Al ‘illatu Yaduuru ma’al hukmi wujuudan wa ‘adaman” yang artinya hukum beredar sesuai dengan illat ada atau tiadanya. Berarti, jika kondisi perjalanan dan kondisi jalan sudah aman dan tentram, maka keharaman perjalanan perempuan itu sudah hilang. Inilah yang menjadi penyebab perbedaan pendapat.

Asy Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Mesir sebelumnya juga berpendapat boleh perempuan melakukan perjalanan tanpa mahrom selama jalan aman, perjalanan aman dan tidak ada gangguan, sebagaimana bisa kita tonton dalam video youtube beliau:

Begitu juga dengan Darul Ifta’ Al Mishriyyah juga berpendapat bahwa perempuan boleh melakukan perjalanan selama dalam kondisi aman, Darul Ifta’ Al-Mishriyyah menyatakan:

والمختار للفتوى في شأن سفر المرأة لحضور منحة علمية من دون زوج أو محرم: هو جواز سفرها مع الرفقة المأمونة بشرط الأمان وموافقة الزوج أو الولي

Artinya: “Pendapat yang tepat digunakan untuk berfatwa tentang permasalahan perempuan melakukan perjalanan untuk menghadiri kegiatan keilmuan tidak bersama suami/mahram itu boleh asalkan bersama dengan rombongan yang dianggap aman dengan syarat aman perjalanan dan dapat persetujuan dari suami atau wali perempuan tersebut.”

Jadi, dari pembahasan di atas bisa kita simpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Ada ulama yang mengharamkannya dengan alasan hadits tersebut illatnya adalah safar, dan ulama yang membolehkan berdasarkan hadits tersebut dengan alasan demi menjaga keamanan perempuan karena ketidak-amanan jalan.

Jadi, jika kita mengacu kepada pendapat yang dikukuhkan oleh Darul Ifta Al Mishriyyah, maka bisa kita simpulkan bahwa perempuan boleh melakukan perjalanan baik untuk tujuan yang wajib atau yang sunnah atau yang boleh termasuk ziarah kubur seperti adat kebiasa masyarakat kita, selama kondisi jalannya aman, mendapat izin dari suami atau wali, tujuan dari perjalanan tersebut jelas dan sesuai dengan syariat Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam.

Catatan: Rubrik Konsultasi ini diasuh oleh Ketua Lembaga Dakwah Nahlatul Ulama (LDNU) Kabupaten Banjar, Habib Ali Husein Al Aydrus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *