“Didiklah anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” (Ali bin Abi Thalib)
Oleh: Yunizar Ramadhani*)
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “didiklah anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”. Untuk mewujudkan metode mengajar dan mendidik yang tepat tentu guru mesti memahami zaman murid-muridnya, mengerti dunia mereka, berbicara dengan bahasa mereka. Bahasa yang akan mewarnai masa depan.
Baru-baru ini saya mendapat tugas menguji santri-santri putri saya dalam Ujian Lisan (al-imtihan al-syafahi). Ujian Lisan menjadi salah satu kesempatan bagi guru untuk memahami murid-murid. Ujian bukanlah semata menguji, menilai dan mengevaluasi proses pembelajaran. Bagi guru yang kritis dan peduli, Ujian merupakan hamparan data tentang dunia generasi muda.
Kebetulan saya ditunjuk menguji kemampuan bahasa Inggris para santri putri. Selama ujian berlangsung ditemukan sejumlah fakta menarik mengenai tutur para santri putri dengan bahasa internasional itu. Yang paling mencolok dan cukup mengejutkan buat saya adalah bahwa sebagian besar santri putri tidak tahu apa kepanjangan dari OTW.
Mereka mengaku mengetahui maksud ungkapan tersebut. Mereka juga mampu menaruhnya dalam kalimat dan tahu bagaimana menggunakannya dalam tuturan (dalam tulisan basanya ditulis otewe). Tapi, sekali lagi, mereka tidak mengetahui apa kepanjangannya dan apa terjemahan indonesianya.
Sepintas ini terlihat seperti kemunduran berbahasa, tapi ini telah menjadi hal yang lumrah dalam sejarah. Banyak kosakata (dalam bahasa apapun) yang kita mengetahui maksudnya dan kita paham penggunaannya tapi tidak tahu asal-muasal kata tersebut.
Ambil contoh kata “avatar”. Kata ini menunjuk pada representasi kita di dunia maya, entah itu foto kita sendiri yang kita jadikan foto profil di media sosial maupun animasi yang kita pilih menjadi identitas kita pada akun game online. Tidak banyak kiranya yang tahu bahwa kata tersebut berasal dari bahasa sansekerta “avatara” yang menunjuk pada suatu wujud makhluk yang mewakili dewa Wishnu di dunia.
Dr. Van Peursen, seorang filosof Belanda yang pada tahun 1975 menulis buku Strategie van de Cultuur (diterjemahkan jadi Strategi Kebudayaan, 1985) menyebutkan kisah menarik. Rupanya kata “spinazi” (Inggris: spinach, Indonesia: bayam) diambil dari nama Spinoza, filosof Belanda beraliran Rasionalis.
Konon ia sangat tersohor hingga untuk sekedar memuji anak-anak yang rajin, ibu-ibu mengatakan: “bagus, nak. Nanti kamu akan dinamakan Spinoza.” Entah bagaimana kalimat seperti itu tidak dimengerti lagi, ungkap Van Peursen, dan saat ini kata itu terdengar dalam pepatah Belanda: “…dan kau akan makan spinazi.”
Jadi ada semacam rantai yang putus dalam pergeseran dan perkembangan bahasa. Sebut saja hal itu dengan “pelupaan”. Setiap kosakata lahir dalam ruang lingkup kebudayaan tertentu, lalu pada saatnya unsur-unsur kebudayaan itu terlupakan dan kemudian tidak diketahui oleh generasi terakhir penggunanya. Ungkapan Van Persen “entah bagaimana kalimat seperti itu tidak dimengerti lagi” menunjukkan pelupaan itu.
Boleh jadi inilah masanya ketika kepanjangan OTW telah menderita suatu pelupaan. Dan bisa saja ini pula yang akan dialami kata-kata seperti “pede”, “bestie”, “ponsel” dan lain-lain (yang terakhir juga mengalami pelupaan yang sama seperti OTW, santri putri tak tahu kepanjangannya).
Dari pengalaman ini kita juga dapat belajar bahasa masa depan dimana nalar generasi muda kita akan hidup dan dibentuk olehnya. Melihat sebaran kosakata yang mereka gunakan, nampaknya masa mendatang akan dipenuhi kosakata-kosakata yang serba singkat lagi efisien, seperti contoh-contoh di atas. Nampaknya perubahan yang begitu cepat menghajatkan penalaran yang cepat pula (kita tahu bahwa dalam pemikiran posmodern penalaran terjadi dalam bahasa).
Efisiensi tersebut juga terlihat dari bagaimana anak-anak muda kita mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa gaul Inggris (seperti bahasa anak Jaksel). Pengaruh globalisasi dan alam digital berbasis internet (disebut-sebut dengan istilah 4.0) beserta penalaran yang sangat cepat tadi tidak memberi banyak waktu untuk mencari padanannya dalam bahasa ibu. Jadi literally beberapa istilah Inggris tidak perlu di-translate.
Lebih dari itu, bahasa masa depan akan semakin efisien berkat fasilitas gawai pintar yang saat ini hampir semua orang akses. Penggunaan emoticon dan sticker untuk mengekspresikan perasaan ketimbang menuliskannya dalam kalimat-kalimat juga menjadi bukti betapa cara kita berbahasa dan memindahkan pengetahuan juga sedang berubah.
Entah bagaimana nantinya ilmu pengetahuan ditransmisikan dari individu ke individu yang lain. Boleh jadi akan tiba masanya materi pengetahuan tertentu tak lagi tersebar dalam bentuk kumpulan-kumpulan aksara, melainkan lewat gambar-gambar atau bahkan gestur tubuh yang berjogat-joget ria.
Segala yang baru seringkali mendapat perlawanan (resistensi), apalagi ada prinsip umum bahwa sejarah peradaban manusia dimulai dari penemuan aksara. Namun karena perubahan senantiasa tak terelakkan, pada akhirnya kita akan menyesuaikan diri menghadapinya.
Para orangtua dan guru memang mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan zaman anak didiknya. Ini bukanlah kelemahan. Jika zaman adalah hasil gerak semesta, maka penyesuaian diri dengan zaman dalam pendidikan merupakan suatu gerakan juga.[]
*) Pengurus LTN PCNU Kab. Banjar, Guru Ponpes Darul Hijrah Putri Martapura, Pengajar STIT Darul Hijrah Martapura.