Terbakar oleh api neraka boleh dibilang siksaan berat bagi para pendosa. Tapi siksaan paling menyakitkan adalah penyesalan.
Oleh: Yunizar Ramadhani*)
API NERAKA telah menyala, siap melahap para pendosa. Mereka dijebloskan ke dalam neraka yang marah itu karena mengingkari kebenaran. Setiap sekumpulan pendosa dilempar ke dalamnya, malaikat penjaga neraka bertanya: “tidak pernahkah seorang pemberi peringatan datang kepadamu?”
“Pernah. Seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakannya dan kami katakan: ‘Allah tidak menurunkan sesuatu apapun”, jawab para pendosa itu. “Kalian sudah tersesat dalam kesesatan yang nyata,” hardik sang malaikat penjaga.
Mengalami kesengsaraan di neraka, para pendosa lalu berkata: “Seandainya dulu kami mendengarkan peringatan sang pemberi peringatan itu, atau menggunakan akal pikiran kami, tentu kami tidak akan termasuk ke dalam golongan penghuni neraka Sa’ir ini.”
Adegan yang tercantum dalam al-Qur`an Surah al-Mulk (ayat 7-10) ini menampilkan gambaran kondisi orang-orang yang berbuat keburukan selama hidup di dunia. Memang benar bahwa mereka mendapat hukuman yang sangat berat, yaitu dibakar oleh api neraka. Tapi bukan hanya itu yang menyiksa mereka, melainkan penyesalanlah yang membuat mereka menderita.
***
Salah satu pilar agama adalah kepercayaan terhadap kehidupan setelah mati. Hampir semua agama, jika tidak seluruhnya, mengulas materi ini dalam masing-masing ajarannya. Kepercayaan inilah yang memberi tujuan hidup sejati, sebab tujuan hidup duniawi tiada berarti karena setiap manusia pasti mati.
Kematian yang datangnya pasti membuat segala perilaku dan kegiatan manusia selama hidup seakan sia-sia. Apakah anda berbuat keburukan atau kebaikan tidak ada faedahnya karena pada akhirnya anda akan meninggalkan semua itu. Immanuel Kant, seorang filosof kenamaan (dikutip D.E.Trueblood dalam Philosophy of Religion (terj. 2002) berujar:
“Kita manusia memperjuangkan ide-ide moral yang tinggi; dengan binasanya perseorangan maksud moral yang tinggi tak akan tercapai, dan oleh karena tujuan moral tidaklah tercapai sepenuhnya dalam hidup ini, maka amat janggal kalau manusia disuruh mengerjakan sesuatu hal yang takkan tercapai sepenuhnya. Maksud tersebut hanya tercapai kalau ada kelangsungan hidup sesudah hidup yang sekarang ini.”
Agama dengan demikian memberikan tujuan moral dan hidup yang hakiki. Pengetahuan tentang kehidupan setelah kematian memberikan arah bagi perilaku dan tindak-tanduk manusia selama hidup di dunia. Arah dan tujuan yang melampaui kematian.
Kehidupan setelah kematian disebut kehidupan akhirat, karena kehidupan itulah yang akan menjadi fase terakhir dari keberadaan manusia. Di dalamnya ia akan hidup kekal, entah dalam kebahagiaan atau dalam kesengsaraan. Kebahagiaan atau kesengsaraan di alam akhirat ditentukan oleh kadar perbuatan etisnya selama hidup di dunia.
Jika berbuat kebaikan, sebagaimana al-Qur`an gambarkan, maka ia akan hidup berbahagia di surga, yang dipenuhi pepohonan yang menghasilkan buah-buahan. Manusia yang saleh akan memakan buah-buahan itu, ditemani oleh pasangan muda lagi suci. Di bagian bawah surga mengalir sungai-sungai yang mengalirkan air susu, memberi kenikmatan yang tak pernah terbayangkan.
Sebaliknya, apabila manusia berbuat buruk selama hidup di dunia, ia akan dijebloskan ke dalam neraka. Banyak sekali gambaran di dalam kitab suci tentang keadaan para pendosa di neraka. Semuanya menampilkan adegan-adegan yang mengerikan sekaligus memilukan.
Di sana ia akan dibakar oleh api neraka yang panasnya melebihi panas manapun yang pernah kita temukan di dunia. Usai terbakar jasadnya akan pulih seperti semula untuk kemudian dibakar lagi, dan begitu seterusnya untuk selama-lamanya. Ada juga pendosa yang dipanggang di dalam tungku yang menyala-nyala. Ada pula yang dicambuk dengan cemeti yang terbuat dari api neraka.
Penggambaran kejadian-kejadian di neraka (yang belum terjadi) tiada lain bertujuan untuk menakut-nakuti hamba Allah, agar mereka tidak membangkang dari-Nya dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk lagi sia-sia. Memang begitulah prinsip dakwah keagamaan. Selain memberi kabar gembira (busyra) bagi orang-orang yang saleh, ia juga memberi peringatan (nadzr).
Apabila peringatan tersebut memang bermaksud untuk menakut-nakuti sehingga hamba Allah terdorong untuk menjauhi perbuatan buruk, maka gambaran tentang siksaan di alam akhirat harus dalam bentuk yang seburuk-buruknya. Dalam hal ini, api neraka dan manusia yang terpanggang adalah gambaran terbaik, setidaknya dalam “pengalaman umum” manusia.
Namun di balik suatu pengalaman umum, kita juga mendapati “pengalaman khusus”. Dalam keadaan terbakar oleh api kita menyaksikan jasad yang melepuh lalu hancur karena dilalap oleh api. Itu adalah pengalaman umum. Tapi saat terbakar kita juga mengalami pengalaman yang khusus, yaitu merasakan panas, penderitaan dan kesengsaraan.
Pengalaman khusus inilah, saya kira, intisari dari penggambaran neraka. Hukuman-hukuman keji dan kondisi-kondisi mengerikan yang akan dialami para pendosa pada hakikatnya menggambarkan kehidupan akhirat yang penuh derita dan sengsara. Itu semua adalah konsekuensi atas perbuatan buruk mereka selama hidup di dunia.
Apabila penderitaan dan kesengsaraan yang akan Allah timpakan kepada manusia-manusia pendosa, maka tiada derita dan tiada sengsara yang lebih menyakitkan ketimbang penyesalan. Penyesalan kerap muncul sebagai perasaan sedih dan kecewa atas sesuatu yang telah terjadi atau dilakukan. Karena sesuatu telah terjadi, ia tidak dapat lagi dikembalikan seperti semula. Dari itulah rasa sedih dalam sesal menjadi berlipat-lipat sakitnya.
Bayangkan jika anda melewatkan kesempatan untuk kesuksesan, kini kesuksesan itu tidak bisa lagi anda raih. Bayangkan jika anda memutus cinta seseorang yang sangat menyayangi anda, kini dia bersama orang lain. Bayangkan jika anda telah melakukan kezaliman kepada sesama, lalu hati nurani mengatakan anda telah salah. Apa lagi yang lebih menyakitkan dari itu?
Kesedihan yang begitu mendalam itulah yang dirasakan Qabil yang menyesal telah membunuh Habil, saudaranya. Kesedihan itu pula yang dirasakan para pendosa dan orang-orang ingkar terhadap kebenaran. Karena jiwa yang penuh sesal, orang-orang kafir itu sampai berandai-andai mereka jadi tanah saja, kembali saat manusia berbentuk tanah yang tak punya dosa apa-apa (QS. an-Naba`: 40).
Sakit pada badan, bahkan jika terbakar oleh api, seringkali dapat disembuhkan. Sakit pada hati bisa hilang seiring masa. Namun penyesalan tidak dapat mengembalikan waktu. Oleh karena itu, rasa sesal yang muncul setelah berbuat kesalahan atau keburukan akan selalu menghantui jiwa sepanjang masa. Itulah neraka sebenarnya.[]
*) Penulis adalah guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri dan STIT Darul Hijrah Martapura, Pengurus LTN PCNU Kabupaten Banjar