Apa jadinya jika corat-coret di dinding kelas santri putri lebih banyak berupa akun-akun Tiktok dan Instagram?
Oleh: Yunizar Ramadhani*)
Suasana cukup tenang saat para santri putri mengerjakan tugas. Saya minta mereka membuat bagan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) para ulama tentang batas usapan kepala dalam wudhu. Sembari mengawasi mereka yang sedang sibuk, saya berjalan berkeliling ruang kelas. Seperti ruang kelas di banyak sekolah, dindingnya juga penuh corat-coret.
Saya jadi teringat dengan cerita pendek (cerpen) karangan Eka Kurniawan berjudul “Corat-Coret di Toilet” (2000). Di sana digambarkan betapa dinding toilet jadi “ruang publik”, tempat rakyat menumpahkan pikiran setelah tak ada lagi saluran buat mereka untuk menyampaikan kritik dan pendapat.
Corat-coret di dinding kelas santri putri juga begitu. Lewat corat-coret mereka ingin mengeluarkan rasa jenuh tinggal di asrama pesantren, atau menumpahkan kesal pada kakak kelas yang menindas.
Namun corat-coret yang saya dapati kala itu sedikit berbeda. Bukannya keluh-kesah soal hidup mereka di pesantren, tapi lebih banyak berupa akun-akun Tiktok dan Instagram! Santri putri pembuat corat-coret seakan ingin menyampaikan pesan: “nanti kalau kamu pulang ke rumah, atau orangtua kamu datang membawa ponsel pintar, follow aku, ya!”
Bila kita bandingkan dengan “corat-coret di toilet”-nya Eka Kurniawan, corat-coret santri putri itu menunjukkan pergeseran paradigma dalam pikiran anak muda. Di awal era Reformasi anak muda terpengaruh oleh atmosfer sosial-politik yang rumit sehingga terdorong untuk mengajukan kritik dan gagasan-gagasan.
Kini berkat hadirnya media sosial anak muda menemukan suatu tempat untuk tidak sekedar terlibat dalam kehidupan, melainkan memiliki kehidupan dan identitasnya sendiri di dunia yang berbeda. Bagi generasi muda kita realitas bukanlah apa yang mereka alami di alam nyata, tapi di dunia virtual yang di sana mereka merepresentasikan dirinya. Dan mereka menikmatinya.
Mereka ingin agar representasi diri mereka itu diakui, sehingga pencapaian tertinggi mereka adalah banyaknya follower dan like. Sayangnya hasrat itu terhambat karena santri putri dilarang membawa dan menggunakan gawai pintar di lingkungan pesantren. Walhasil, dinding kelas jadi saluran mempromosikan akun-akun media sosial itu.
Fenomena tersebut juga menampilkan betapa santri-santri putri rupanya juga terpengaruh oleh dunia serba virtual, digital, 4.0, atau apapun sebutan untuk menandai kemajuan teknologi informasi yang makin menanjak ini. Udaranya ternyata bisa menembus tembok pesantren yang dulu digadang dapat menjauhkan mereka dari pengaruh “dunia luar”.
Namun demikian, semangat “menjaga tradisi lama dan mengambil inovasi baru” senantiasa menjaga eksistensi dan martabat pesantren. Sembari menjaga nilai-nilai hakikinya, pesantren juga menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Saya ingat masa ketika masih nyantri tahun 90-an dulu, betapa kami dilarang sama sekali membawa, memiliki dan menggunakan alat-alat elektronik. Saya ingat ketika puluhan walkman dan televisi mini dihancurkan guru pengasuh di depan seluruh santri. Beberapa tahun kemudian kami boleh menonton televisi dan mendengarkan musik Slow Rock Malaysia, meski cuma di waktu dan area sangat terbatas, yaitu di warung santri.
Saya juga ingat ketika organisasi santri hanya bisa menggunakan mesin tik untuk menulis dokumen-dokumen administrasi. Kini santri boleh berselancar di dunia internet dalam mengerjakan tugas sekolah dan untuk keperluan-keperluan organisasi, walaupun hanya di laboratorium komputer.
Dulu pergantian jam pelajaran ditandai dengan pukulan lonceng oleh petugas khusus yang ditunjuk dari kalangan santri. Sekarang sistem alarm otomatis yang terhubung dengan suatu aplikasi komputer mengatur kegiatan santri sehari-hari.
Guru-guru juga sekarang ini sudah tidak merasa asing untuk menggunakan proyektor untuk membantu mereka menjelaskan materi pelajaran. Bandingkan dengan masa sebelumnya ketika guru belum terlatih untuk menggunakan media pembelajaran (wasa`il al-idhah) yang mutakhir, pelajaran terkesan cukup membosankan.
Semua perkembangan itu akan terjadi ketika lembaga Pesantren telah menemukan formula, entah itu berupa peraturan atau bahkan sistem, yang mengatur penggunaan media elektronik yang mau tidak mau telah menjadi bagian dari alat hidup manusia modern. Sistem itulah yang membantu Pesantren untuk mengambil jalan tengah antara menjaga tradisionalismenya sembari memodernisasi dirinya.
Dewasa ini dunia virtual semakin mengembangkan diri, dunia yang menjadi realitas alternatif bagi para pengguna media sosial. Istilah virtual reality (realitas virtual) kini berkembang menjadi multiverse dan metaverse, menandai adanya suatu realitas baru di luar realitas yang selama ini kita sepakati. Kesadaran akan realitas baru itu telah tumbuh di kalangan anak muda kita. Itu terlihat bagaimana santri putri mencantumkan akun media sosial mereka di dinding kelas.
Hal itu akan mendesak suatu perubahan – yang mungkin terjadi secara sangat perlahan – dalam metode pembelajaran di pesantren: desakan yang pernah mengubah larangan mendengarkan musik menjadi kebolehan, desakan yang mengubah mesin tik menjadi komputer, desakan yang mengubah papan tulis menjadi tampilan proyektor.
Dari itu saya membayangkan boleh jadi akan tiba suatu masa di mana santri diperkenankan membawa dan menggunakan gawai pintar untuk kepentingan pembelajaran di pesantren. Hanya saja memang saat ini Pesantren belum menemukan formula yang tepat untuk mengatur hal itu.
Melihat perjalanan pesantren selama ini dan sampai sejauh ini, saya percaya Pesantren selalu mampu menyesuaikan diri tanpa harus kehilangan jati diri. Selamat Hari Santri.[]
*) Penulis adalah Guru di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura, Pengurus LTN PCNU Banjar.