Juli 24, 2024

Rasulullah Saw menuntun agar pernikahan harus atas dasar cinta. Mengapa tuntunan semacam itu harus keluar dari sabda beliau?

Oleh: Yunizar Ramadhani*)

DIRIWAYATKAN dari Mughirah bin Syu’bah bahwasanya suatu saat ia melamar seorang perempuan. Lalu Rasulullah Saw berkata padanya:

اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا

pandanglah ia (perempuan itu), karena pandangan itu lebih mungkin akan mengarah pada cinta di antara kalian berdua.” (HR. Al-Khamsah)

Muatan Hadis Nabi Saw yang tercantum dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd itu mungkin terdengar sederhana. Nabi mengajarkan agar pernikahan hendaknya didasari atas dasar cinta. Agar cinta tumbuh dalam diri kedua calon pengantin, Nabi memerintahkan calon pengantin pria memandangi perempuan yang ia pinang sebelum akad nikah.

Bagi nilai dan norma masyarakat kita saat ini, dimana hak dan hasrat setiap individu harus dijunjung tinggi, tuntunan Nabi tersebut terbilang bukan sesuatu yang asing. Tapi mengapa tuntunan pernikahan atas dasar cinta harus keluar dari sabda Nabi Saw? Sebab jika demikian, pastilah tuntunan itu sangat penting dalam pandangan agama.

Saya kira Hadis tersebut tak lepas dari latar belakang sosial-budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat Islam di masa Nabi Saw. Kala itu pernikahan atas dasar cinta sangat jarang terjadi.

Pernikahan cenderung disemangati oleh ego, hasrat untuk menunjukkan status, kekuatan dan kebanggaan diri. Bahkan sampai sekitar seabad yang lalu, pernikahan acapkali menjadi lembaga politis, bagian dari upaya menyatukan dua kekuasaan atau sebagai harga yang harus dibayar untuk suatu diplomasi.

Dipandang dari sudut pandang demikian, maka wajarlah kiranya jika Nabi Saw menghendaki agar pernikahan terjadi atas dasar cinta antar dua insan yang dilanda asmara. Memang tidak dapat dipungkiri jika pernikahan berdampak pada pertemuan dan penyatuan dua keluarga, dua adat-istiadat dan dua budaya. Tapi sebagaimana sabda Nabi, cinta harus jadi dasar segalanya.

Lalu apakah cinta itu? Bahasa Arab sebagai bahasa dunia Islam lebih sering menyebut cinta dengan kata “hubb”, “mahabbah” dan “mawaddah“. Secara harfiah, “hubb” dan “mahabbah” seakar kata dengan “habbah” yang berarti “biji” atau “benih”, sebagaimana disebut dalam al-Quran mengenai sedekah:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ

“Perumpamaan orang-orang yang mengeluarkan hartanya di jalan Allah adalah seperti biji…” (QS. Al-baqarah: 261)

Dari pengertian ini, seorang sufi bernama Abul Hasan ‘Ali al-Hujwiri, dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub, menyatakan cinta adalah benih. Dari benih akan tumbuh batang-batang dan dahan sebagai tempatnya bersemainya buah dan bunga-bunga.

Maksud dari pengertian ini adalah bahwa cinta, seperti halnya benih, menjadi dasar dan permulaan bagi segala sesuatu yang nantinya akan menjadi ada. Oleh karena itu, cinta adalah energi, penggerak hati dan jiwa yang akan menghasilkan sikap, perbuatan dan perilaku, atau dalam keadaan tertentu cinta juga mewakili perasaan sedih, rindu, dan cemburu.

Apabila cinta mendasari pernikahan maka yang muncul dalam diri suami-istri adalah rasa tenang antara keduanya dan rumah tangga yang diliputi oleh kasih sayang. Rasa tenang dan kasih sayang itulah yang menjadi tujuan pernikahan.

Allah berfirman dalam ayat yang sering dikutip di lembar undangan pernikahan:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya adalah Ia menciptakan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar engkau merasa tenang bersamanya dan Ia menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam pada itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. al-Rum: 21)

Dari ayat inilah tampaknya orang mengenal ungkapan sakinah mawaddah wa rahmah. Artinya tenang, cinta dan kasih-sayang. Ungkapan sangat masyhur dan seringkali menjadi rangkaian doa dari para tamu undangan pernikahan untuk kedua mempelai. Saking terkenalnya, biduan dangdut yang tampil pada pesta pernikahan juga sering mengucapkannya.

Sayangnya, pemahaman kebanyakan orang tentang ayat ini terhenti pada ungkapan sakinah mawaddah wa rahmah saja. Padahal yang terpenting dari ayat tersebut adalah bagian awal dan akhirnya, yakni bahwa dalam percintaan kedua pengantin terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah dan tanda-tanda tersebut hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang berpikir.

Oleh karena itu, rasa cinta yang menggelayut dalam jiwa sepasang suami-istri bukanlah tujuan eksistensial terakhir. Percintaan dalam pernikahan hendaknya menjadi sarana untuk mengenal Allah dan mendekatkan diri kepadanya, bukan untuk berbangga diri atau tujuan-tujuan duniawi lainnya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan (berunsur syahwat) kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Ayat ini menjelaskan bahwa cinta berunsur syahwat memang merupakan ciptaan dan anugerah dari Allah. Namun cinta adalah biji atau benih yang harus menghasilkan buah yang manis, yakni ma`ab atau tempat kembali yang baik, yaitu surga yang letaknya berada di sisi Allah Swt.

Jadi cinta harus menjadi landasan dasar dan penggerak jiwa untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai tinggi dan luhur. Capaian tertingginya adalah mengenal Allah. Paling tidak dengan merasakan cinta dan dengan menggunakan pikirannya, sepasang kekasih akan mempertanyakan siapa yang membuat rasa cinta yang indah ini. Pastilah pencipta rasa cinta itu adalah Zat Yang Maha Indah.

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, izinkan saya mengutip puisi seorang sufi bernama Jalaluddin Rumi. Dalam Matsnawi, jilid 3 ia menulis:

Hikmat Tuhan dalam qada dan qadarnya

Ia hadirkan kita sebagai para pecinta

Seluruh bagian alam tercipta berpasangan

Dan pasangan itu saling mencinta

Seperti langit yang berkata pada bumi

Engkau dan aku ibarat magnet dan besi

Jika langit adalah lelaki, maka bumi sebagai perempuan

Setiap butir biji yang jatuh, bumi akan memeluk dan merawatnya. []

*) Penulis adalah Guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura, Bagian dari LTN PCNU Kab. Banjar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *