Juli 25, 2024
Guru Adi bersama Ustadz Nur Hidayatullah. Foto-Muhammad Amin

Guru Adi bersama Ustadz Nur Hidayatullah. Foto-Muhammad Amin

Albanjari.com, Martapura – Sebagaimana kisah-kisah ulama pada umumnya yang sering mendapat penolakan, bahkan tidak jarang terlibat dalam perdebatan. Begitu halnya yang terjadi kepada Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. Dalam perjalanan dakwahnya beliau tidak terlepas dari penolakan oleh kalangan masayarakat sekitar abad ke-18 atau 19 Masehi. Menariknya, saat terjadi konflik persoalan arah kiblat di Batavia tahun 1772 M, beliau juga dibenarkan oleh salah seorang pendeta asal Belanda.

Kisah ini berangkat saat Guru Adi Hatim menyampaikan sambutan pembuka pada acara Diskusi Ilmiah di Ma’had Aly Darussalam pada hari Minggu, (21/4) pagi. Guru Haji Adi memantik beberapa isu terkait Syekh Muhammad Arsyad Albanjari ketika berhadapan dengan beberapa persoalan di tengah masyarakat, terkhusus di Nusantara yang diselesaikan dengan proses intelektual.

Banyak persoalan keagamaan yang diselesaikan oleh beliau melalui proses yang rumit. Istilah Almarhum KH. Hatim Salman “bukan langsung membuka jubah, tapi perjalanannya itu panjang”. Hal ini menguatkan bahwa Datu Kelampayan sebenarnya tidak secara spontanitas langsung menampilkan karomah sebagaimana yang disangka banyak orang. Ada proses intelektual yang sangat mendalam dan begitu pelik yang diterapkan Datu Kelampayan untuk menyelesaikan problematik keumatan.

Satu contoh, saat Datu Kelampayan ingin menghilangkan tradisi di tanah Banjar yang dinilai beliau bid’ah dan tidak sesuai syariat Islam. Tradisi tersebut adalah ‘manyanggar’ dan ‘mambuang pasilih’. Data ini terekam dan diabadikan dalam karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Albanjari yang berjudul ‘Tuhfah ar Raghibin’. Kitab yang membahas akidah hingga menyinggung tradisi Nusantara abad ke-18 dan 19 Masehi, bahkan hingga sekarang.

Menurut Guru Adi, di dalam kitab tersebut dijelaskan, manakala Syekh Muhammad Arsyad atau Datu kita ingin memberantas dua tradisi di atas beliau terlibat perdebatan dengan masyarakat Banjar. Saat itu, Datu Kelampayan menyelesaikannya dengan pendekatan nalar logika dan analogi yang bisa diterima oleh masyarakat Banjar.

Walaupun belum dijelaskan bagaimana ilustrasi tradisi ‘manyanggar’ dan ‘mambuang pasilih’ masa itu, namun ini menandaskan bahwa Syekh Arsyad saat menyelesaikan masalah tersebut dengan menjadikan pendekatan nalar logika yang lebih diutamakan.

Kitab ‘Tuhfah ar Raghibin’ sendiri, adalah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Albanjari yang berisikan akidah. Menariknya, dalam kitab ini juga mengandung nuansa ushul fiqih hingga teori-teori jadal (debat) dalam fiqih.

Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad juga pernah terlibat dalam perdebatan dengan ulama, bukan hanya masyarakat saja. Kisah ini  terekam dalam sebuah manuskrip yang berjudul ‘Hadzihi ar Risalah fii Bayani Munaza’ah Amril Qiblah baina Ahlil Batawi wa Hajji Muhammad Arsyad Albanjari’. Perdebatan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari dengan para ulama masa itu yang ada di Betawi.

Ia menjelaskan, di dalam risalah ini dijelaskan tentang bantahan argumen, perdebatan, dan analisis dari satu orang Banjar terhadap masyarakat sampai ulama Betawi.

“Ini adalah Risalah yang menjelaskan tentang munaza’ah, tentang munadzarah, tentang munaqasyah, tentang mujadalah antara masyarakat Betawi dengan satu orang Banjar, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. Dan ternyata beliau berhasil,” jelasnya.

Di masanya, arah kiblat di Jakarta menghadap ke Barat. Masa itu, di Batavia rupanya sedang terjadi konflik mengenai hal tersebut. Ketika sampai berita ke telinga Syekh Arsyad saat masih di Mekkah, lantas beliau pun, menurut Ustadz Nur Hidayatullah menceritakan, bahwa saat terjadi konflik yang menyoal arah kiblat, Syekh Arsyad menghadap para ulama yang ada di Mekkah dan Madinah untuk meminta fatwa perihal konflik yang terjadi di Batavia.

Di antara yang ditanyakan Syekh Arsyad yaitu apakah konflik tersebut dibiarkan saja atau perlu diluruskan. Singkat cerita, ulama yang ditemui Syekh Arsyad memfatwakan agar tetap dirubah. Bahkan Syekh Arsyad mengatakan, seandainya ada arah kiblat di Mesjid yang keliru namun ada orang yang berdalih bawah Mesjid itu dibangun oleh seorang wali sekalipun, tetap diperbolehkan untuk dirubah. Hal ini dikuatkan, beber Ustadz Nur Hidayatullah, karena Syekh Arsyad mengutip pendapat Ibnu Hajar Al Haitami, -Mujtahid fi al Fatwa di kalangan Syafi’iyyah.

“Bahkan beliau mengatakan, seandainya ada kiblat yang salah tapi orang berargumen Mesjid ini dulu dibangun oleh seorang wali besar, tetap kita diperbolehkan untuk merubah kiblat tersebut meskipun dibangun oleh seorang wali,” tandas Ustadz Nur Hidayatullah.

“Dan isi kitab ini, sebagaimana yang disampaikan oleh mudir kita, itu merupakan perdebatan antara Syekh Arsyad,” sambungnya.

Perdebatan atau dialog saat itu melibatkan seorang ulama sekaligus Mufti kesultanan Betawi di masa Maulana Sultan Abu Nasr Muhammad Arif al Din Zayn al Ashiqin, yaitu Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al Jawi, -Mursyid Thariqah Syatariah. Dialog tersebut juga melibatkan seorang Gubernur-Jendral Hindia Belanda ke-29 yang mau tak mau harus hadir bernama Petrus Albertus van der Parra.

Karena sempat terjadi geger, sambung cerita Ustadz Nur Hidayatullah, maka Gubernur-Jendral ke-29 Hindia Belanda itu ikut terlibat menangani masalah pelurusan arah kiblat di Batavia. Yang di kemudian harinya pun harus dihadirkan seorang ahli Astronomi asal Belanda sekaligus Pendeta. Karena tuan Jendral sama-sama tidak mengerti persoalan ilmu falak, maka tuan Jendral itu menghadirkan Pendeta tersebut yaitu Johan Maurits Mohr, -seorang Meteorolog Belanda kelahiran Jerman.

“Pada saat itu yang namanya Gubernur tidak paham juga masalah ilmu falak, lalu beliau mengundang seorang pendeta yang ahli dibidang Astronomi. Ini kalo tidak salah disebutkan dalam kitab Manaqib Syekh Arsyad yang ditulis oleh Haji Yusuf Khalidi,” kata Ustadz Nur Hidayatullah.

“Nah ini yang berdebat dengan Datu Kelampayan, diskusi. Ada Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Al Jawi kemudian juga ada Pendeta yang ahli Astronomi namanya Johan Maurits Mohr,” paparnya.

Dari kisah ini dapat disimpulkan, bahwa Syekh Muhammad Arsyad Albanjari sangat membuka ruang dialog, dan inilah yang juga diajarkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau telibat perdebatan baik dengan masyarakat maupun ulama. Semua kisah ini pun sudah terabadikan dalam karya tulis ulama. Salah satu ulama yang juga banyak merekam kisah keintelektualan Datu Kelampayan adalah Sayyid Usman bin Yahya, atau yang akrab dikenal Habib Usman Betawi.


Telah tayang di akun YouTube Ma’had Aly Darussalam Channel

 

Penulis : Anwar Syarif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *