Albanjari.com, Martapura – Dalam sebuah peristiwa, Guru Seman tergelincir di lantai rumah. Akibat peristiwa itu, kaki beliau patah. Di antara sakit karena jatuh, kalimat yang keluar dari mulut beliau bukan sumpah serapah, melainkan “Alhamdulillah”.
Islam mengajarkan bagaimana menerima takdir Tuhan. Tapi penerima tentu berbeda dari masng-masing orang. Bagi orang awam takdir terbagi dua, manis dan pahit. Tapi tidak bagi para ulama yang mewarisi akhlaknya para anbiya (para Nabi), semua takdir dirasa manis.
Salah satu contoh akhlak dalam menerima takdir itu ditunjukkan oleh Tuan Guru H. Seman Mulia (Martapura) atau yang akrab dikenal dengan Guru Seman Bujang (ketika beliau belum kawin) dan Guru Seman Padang (karena rumah beliau di sekitar sawah/ padang).
Sebagaimana diceritakan Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghan dalam tausiahnya: Di masa tuanya, Guru Seman menerima banyak tamu di kediamannya. Suatu ketika, karena asyik menjamu tamu, beliau terlambat untuk mengisi majelis taklim khusus wanita.
Menyadari hal itu, Guru Seman bergegas berjalan. Rupanya, tikar plastik di rumah beliau, terciprat air hingga menjadi licin. Sehingga ketika menginjak bagian itu, beliau terjatuh. Dan akibatnya, kaki beliau pun patah.
Namun, ulama sepuh itu tidak lantas menyalahkan keadaan apalagi mencari kambing hitam. Semisal, siapa yang tidak membersihkan tikar ini. Tidak. Penyikapan Guru Seman berbeda. Ulama sepuh itu, malah bersyukur dengan kejadian yang menimpanya.
“Alhamdulillah tenang aku,” kata Abah Guru Sekumpul mengutip perkataan Guru Seman kala itu.
Sebagaimana diketahui, sebelum patah kaki, Guru Seman sibuk meneriman tamu, mengajar, dan menghadiri undangan. Setelah itu, Guru Seman lebih fokus mengajar.
Abah Guru pun mengomentari cerita itu, “Betapa baiknya sangka Guru Seman.”
Penulis: Muhammad Bulkini