September 18, 2024
Banjar Corner UIN Antasari, foto- Albanjari.com

Banjar Corner UIN Antasari, foto- Albanjari.com

Oleh:  Ahmad Wafi Hasbullah*

Wafi Hasbullah, Anggota LTN NU Kabupaten Banjar, Mahasiwa UIN Antasari Banjarmasin
Wafi Hasbullah, Anggota LTN NU Kabupaten Banjar, Mahasiwa UIN Antasari Banjarmasin

Bangunan berwarna dominan biru dan putih itu berdiri gagah di pinggir jalan kampus Universitas Islam Negeri Antasari. Di depannya terdapat halaman luas yang difungsikan sebagai tempat parkir. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini, gedung inilah yang pertama kali kucari. Tepat di atas pintu masuknya, terlihat tulisan berwarna putih yang berbunyi “Perpustakaan UIN Antasari”. Ya, bisa dikata, bangunan ini merupakan oase bagi para pecinta ilmu pengetahuan untuk menuntaskan dahaganya, atau air terjun ilmu tempat para musafir membasahi diri mereka.

Sebelumnya, pernah kudengar bahwa perpustakaan ini merupakan yang terbaik di Kalimantan. Kabar tersebut juga yang membuat diriku semakin penasaran dengan apa yang ada di dalam sana. Dua orang mahasiswi dengan pakaian syar’i dan memakai masker terlihat keluar dari pintu perpustakaan sembari bersenda gurau. Selalu saja ada perasaan senang menyelinap di relung hati setiap kali melihat orang keluar masuk gedung yang menjadi lumbung ilmu ini. Kupikir kita masih memiliki generasi yang mencintai membaca.

Kulangkahkan kaki mendekati pintu masuk. Tepat di pintu masuknya tergantung tulisan “Buka”. Rupanya di perpustakaan ini ada jam operasionalnya, benakku. Memasuki ruangan, terlihat di sisi kanan dan kiri ruangan kecil tempat menyimpan alas kaki. Ruangan untuk laki-laki dan perempuan terpisah.

Perpustakan UIN Antasari
Perpustakan UIN Antasari

Setelah melepas alas kaki dan meletakkannya di tempat yang sudah disediakan. Aku pun lanjut melangkah ke ruangan tempat absen pengunjung. Antara ruangan absen dan pintu masuk dibatasi oleh alat detektor. Setelah melewati alat detektor tersebut, aku sempat tersentak ketika seorang petugas perpustakaan menegur dan memintaku untuk memakai masker. Petugas itu pun memanduku untuk mengisi absen terlebih dahulu di komputer yang sudah disediakan. Di ruangan itu terdapat empat buah komputer untuk mengisi absen. Di dindingnya ditempel denah perpustakaan. Lantai pertama ada Banjar dan Melayu Corner, di lantai dua adalah kumpulan buku dari berbagai cabang keilmuan, sedangkan di lantai tiga berisi kumpulan skripsi, disertasi, dan tesis.

Karena sejak awal tujuanku adalah Banjar dan Melayu Corner, maka aku hanya akan menjelajahi lantai pertama. Dari ruang absen terdapat sebuah pintu di tengah untuk menuju ruangan Banjar dan Melayu Corner. Ketika langkahku mulai memasuki ruangan yang kutuju itu, ada perasaan takjub dan tenang melintas di relung hati. Ruangan dengan tata letak yang rapi sekali. Dekorasinya elegan dengan pencahayaan sedang, dinding yang didominasi warna putih, gorden indah, serta hamparan karpet merah menambah kesan mewah. Di sisi ruangan tersedia sofa yang empuk serta meja yang semakin menambah kenyamanan para pengunjung untuk berlama-lama membaca hasil karya para ulama lokal.

Selain itu, beberapa foto rektor UIN Antasari dari beberapa generasi dipajang lengkap dengan profil singkat mereka. Setelah mengamati profil singkat para rektor tersebut, aku beralih ke jejeran lemari kaca yang terletak di ujung ruangan. Di dalamnya dipajang karya-karya ulama dari berbagai penjuru nusantara bahkan asia tenggara tersusun rapi. Berbagai macam karya dalam ilmu keislaman dipajang di sana. Kuraih sebuah buku yang berjudul “Sejarah Perkembangan Ilmu Fikih di Asia Tenggara” karya Wan Moh. Shagir. Sembari menikmati empuknya sofa di ruangan yang sejuk karena AC itu, kubaca beberapa bab dari salah satu buku yang dipajang.

Di tengah ruangan terdapat beberapa lemari berbentuk mirip seperti peti kaca. Bagian bawahnya terbuat dari kayu dengan ukiran yang elegan. Bagian atasnya adalah kaca sebagai etalase. Penasaran menyelinap di hati. Aku beranjak mendekati lemari-lemari itu. Ketika kulihat isi lemari, rupanya di dalamnya dipajang manuskrip-manuskrip kitab ulama Banjar yang sudah dicopy.

Ada cukup banyak koleksi karya ulama Banjar yang dipajang di lemari itu. Di antaranya ada manuskrip kitab Sabilal Muhtadin karya Datuk Kalampaian yang tersohor di seantero negeri. Ada pula Kitab An-Nikah karya Syekh Abdullah Khatib. Juga nampak dipajang kitab Mua’malah karya Kiai Haji Salim Ma’ruf, dan yang membuatku kagum adalah kitab Tafsir Al Qur’an Al Adzim karya Syekh Husein Qadri. Sebuah kitab tafsir berbahasa Arab Melayu karya ulama lokal. Sebelumnya tidak pernah terlintas di benakku ada kitab Tafsir yang berbahasa melayu. Aku terdiam dan kagum. Ternyata khazanah keilmuan para ulama terdahulu di tanah Banjar begitu melimpah. Tidak kalah dari ulama luar daerah.

Mungkin sangat sedikit orang yang mengetahui karya-karya ulama dari Tanah Banjar ini. Karena kebanyakan di antaranya tidak dicetak apalagi disebarluaskan. Kebanyakan manuskrip hanya disimpan keluarga si penulis bahkan dirahasiakan. Hingga jerih payah mereka ketika menulis tidak begitu terlihat hasilnya. Keberadaan Banjar Corner rupanya untuk memperkenalkan kekayaan khazanah keilmuan ulama tanah Banjar dan melestarikannya untuk generasi mendatang, agar mereka bisa berbangga dan meneruskan perjuangan para ulama dari daerah mereka sendiri.

Cukup lama aku merenung hingga suara bel membuyarkan lamunanku. Aku masih belum beranjak dari sisi lemari kaca yang menyimpan peninggalan berharga ulama banjar itu. Hingga seorang petugas datang dan memberitahuku waktu operasional perpustakaan sudah habis dan aku dipersilakan untuk keluar.

*Penulis merupakan Alumni Ma’had Aly Darussalam, Mahasiswa UIN Antasari dan Anggota LTN NU Kabupaten Banjar

——————————————————————–
Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *