November 6, 2025
rupiah-7304261_1280

Sumber: Pixabay oleh Iqbal Nuril Anwar

Oleh: *Muhammad Zein Wildan

Albanjari.com – Di tengah masyarakat awam, masih sering terdengar anggapan bahwa besaran mahar yang diberikan saat akad nikah menjadi patokan standar nominal nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri setiap hari nya. Tak jarang, budaya ini melahirkan persepsi bahwa semakin besar mahar, maka semakin besar pula nafkah harian yang harus diberikan.

Namun, benarkah statement tersebut menurut hukum fiqih, khususnya dalam pandangan mazhab Syafi’i?

Mahar dan Nafkah: Dua Kewajiban Berbeda

Dalam fiqih, mahar adalah pemberian wajib dari suami kepada istri saat akad nikah, sebagai bentuk bentuk penghormatan dan pengakuan atas hak istri. Mahar hanya diberikan satu kali saat akad nikah dan menjadi hak istri sepenuhnya. Sementara itu, nafkah adalah kewajiban rutin suami untuk memenuhi kebutuhan hidup istri selama ikatan pernikahan keduanya berlangsung. Nafkah meliputi banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan istri, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Kewajiban ini bersifat berkelanjutan dan tidak ada kaitannya dengan nominal mahar yang diberikan saat akad.

Pandangan Mazhab Syafi’i: Nafkah Berdasarkan Kemampuan Suami

Mazhab Syaf’i secara jelas menyatakan bahwa ketentuan nominal nafkah wajib suami harus sesuai dengan kemampuan ekonomi suami. Dalam kitab at-Tahdzib karya imam al-Baghawi dijelaskan:

تقدير نفقة المرأة تختلف باختلاف حال الزوج: فإن كان موسرًا: يجب عليه كل يوم مدان، وإن كان متوسطًا: فمد ونصف، وإن كان معسرًا: فمد، سواء كانت الزوجة حرة أو أمة، صغيرة أو كبيرة، مسلمة أو ذمية، وذلك لأن الله تعالى أوجب النفقة على قدر حاله، ولم يبين المقدار، فقسناه على ما قدره الشرع من الكفارات
(التهذيب في فقه الإمام الشافعي ج٦ ص٣٣٢ – دار الكتب العلمية)

Artinya: “Penentuan nafkah istri berbeda-beda sesuai keadaan suami: jika suami kaya, wajib memberinya dua mud setiap hari; jika sedang, satu setengah mud; jika miskin, satu mud. Baik istri itu merdeka atau budak, kecil atau besar, muslimah atau non-muslimah. Karena Allah mewajibkan nafkah sesuai keadaan suami dan tidak menentukan jumlahnya, maka kami mengqiyaskan dengan kadar yang ditetapkan syariat dalam kafarat (denda syar’i).”

Penjelasan ini juga ditegaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah:

وَقَدَّرَهَا الشَّافِعِيَّةُ: بِمُدَّيْنِ إِذَا كَانَ الزَّوْجُ مُوسِرًا، وَبِمُدٍّ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا، وَبِمُدٍّ وَنِصْفِ الْمُدِّ إِذَا كَانَ مُتَوَسِّطًا. وَقَال الْقَاضِي: الْوَاجِبُ رِطْلاَنِ مِنَ الْخُبْزِ فِي كُل يَوْمٍ فِي حَقِّ الْمُوسِرِ وَالْمُعْسِرِ اعْتِبَارًا بِالْكَفَّارَاتِ. وَاحْتَجُّوا لأَِصْل التَّفَاوُتِ بَيْنَ الْمُوسِرِ وَالْمُعْسِرِ بِقَوْل اللَّهِ: ﴿لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ﴾.
(الموسوعة الفقهية الكويتية ج٤١ ص٤١ – طبع الوزارة)

Artinya: “Syafi’iyah menetapkan: dua mud jika suami kaya, satu mud jika miskin, satu setengah mud jika sedang. Mereka berdalil atas perbedaan antara yang kaya dan miskin dengan firman Allah: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya”.

Dalil al-Qur’an

Dari semua pendapat-ulama yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan pendapat yang dilandasi dari ayat al-Qur’an surah at-Talaq ayat 7:

﴿لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا﴾

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Dalam kitab Mukhtashar al-Muzani juga dijelaskan:

قال الشافعي: النّفَقَةُ نَفَقَتان: نَفَقَةُ الموسِعِ، ونَفَقَةُ المقْتِرِ، قال اللهُ عز وجل: ﴿لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه﴾ الآية
(مختصر المزني ج٢ ص٣٢١ – دار مدارج)

Artinya: “Imam Syafi’i berkata: Nafkah itu ada dua, nafkah orang yang lapang dan nafkah orang yang sempit, sebagaimana firman Allah: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya.”

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, bisa dimengerti bahwa anggapan nominal mahar menjadi tolak ukur nafkah harian suami kepada istri adalah anggapan yang keliru. Karena mahar dan nafkah adalah dua kewajiban berbeda. Syariat Islam menekankan keadilan dan kelayakan dalam pemberian nafkah, bukan sekadar mengikuti nominal mahar. Dengan memahami penjelasan ini, diharapkan masyarakat tidak lagi terjebak pada budaya yang tidak sesuai syariat, dan lebih mengedepankan prinsip keadilan serta kesejahteraan keluarga dalam kehidupan rumah tangga.

*) Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Darul Ulum Jawa Timur dan Pengurus SPM Darussalam Tahfizh dan Ilmu Al-Qur’an


Editor: Muhammad Fahrie

cropped-Coklat_Hitam_Simpel_Kata_Motivasi_Kiriman_Instagram__16_-removebg-preview
Admin Albanjari