
Sumber: Pixabay
Albanjari.com – Seperti yang kita ketahui, kurikulum belajar yang saat ini ditetapkan oleh pemerintah bukan lagi K13, tetapi Kurikulum Merdeka yang mulai dilaksanakan dari tahun 2020 hingga saat ini (2025).
Secara ringkas, Kurikulum Merdeka diluncurkan untuk mendukung soft skill dan kepintaran tiap anak yang berbeda-beda, seperti tidak memaksakan anak harus pintar matematika jika ia lebih pandai di bidang seni. Tiap siswa juga pasti naik kelas dan lulus tanpa memandang keahlian akademik seperti kurikulum sebelumnya.
Selain itu, juga ada peraturan baru anak usia PAUD dan TK tidak boleh diajarkan calistung karena akan menyebabkan tekanan dan trauma belajar pada anak. Benarkah langkah yang diambil oleh Menteri Pendidikan?
Faktanya, saya sebagai guru les anak-anak usia TK dan SD banyak menemukan ketidaksinambungan antara peraturan kurikulum dengan praktek dan hasil di lapangan. Anak usia TK sekarang tidak lagi diajarkan calistung, hanya (diajarkan) bermain, bersosialiasi, dan melatih motorik halus-kasarnya. Sedangkan saat memasuki Sekolah Dasar, soal pelajaran anak kelas 1 sudah meningkat levelnya dari saat saya sekolah.
Bayangkan saja, saat TK tidak diajarkan calistung secara maksimal, tapi saat SD pertanyaan yang muncul di kertas soal seperti ‘Buatlah tiga operasi bilangan yang hasilnya 14!’. Padahal, mereka baru memasuki dunia pengetahuan. Saya rasa terlalu cepat menjejalkan berpikir kritis kepada anak yang baru mengenal dunia pengetahuan. Yang sudah bisa membaca saja masih terbata, pemahaman mereka masih perlu diasah dengan bahasa yang lebih sederhana. Apalagi siswa yang belum bisa baca sama sekali, akhirnya cap-cip-cup saat menjawab soal.
Pembelajaran calistung terlalu dini dinilai akan membuat anak tertekan dan trauma belajar. Saya rasa tidak, jika dilakukan dengan waktu yang cukup dan suasana yang membuat anak senang. Terapkan saja belajar sambil bermain, susun metode yang menyenangkan. Dan juga waktu pembelajaran yang tidak lama semisal 10-15 menit saja tapi konsisten setiap hari, ini jauh lebih efektif dan ramah untuk mental anak.
Saya rasa lebih baik anak diajarkam calistung di TK daripada di rumah masing-masing, karena Ibu yang mengajari mereka bisa berubah jadi mak lampir hehe, ini yang bikin tertekan.
Saya akui, ide dari Menteri Pendidikan sudah benar. Diluncurkannya Kurikulum Merdeka untuk mendorong dan mendukung kecerdasan siswa yang berbeda-beda. Tapi saya rasa, masyarakat kita belum benar-benar siap dengan perubahan ini serta fasilitas pendidikan yang belum memadai untuk mendukung soft skill tiap siswa yang berbeda.
Masyarakat Kita Belum Siap
Masyarakat belum siap dengan perubahan kurikulum pendidikan, dulu orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada sekolah. Mulai dari calistung, memahami, hingga mereka ‘berhasil’ melalui guru. Saat Kurikulum Merdeka diluncurkan, guru menjadi memiliki batasan dalam mengusahakan pemahaman siswa karena tiap anak pasti memiliki bagian cerdasnya masing-masing.
Tapi fakta di lapangan, siswa SMA sekarang masih ada yang tidak bisa berhitung perkalian 4 dikali 4. Ini salah satu cermin kegagalan dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka.
Saya juga menemui siswa SD kelas 3 yang tidak hanya belum bisa membaca, tapi buta huruf. Bayangkan saja, guru di TK dilarang menekankan pembelajaran calistung, lalu di SD guru seolah memiliki pagar tak terlihat dalam menekan anak untuk menjadi bisa seperti yang lainnya, dan di rumah orang tua lepas tangan. Ini yang saya maksud dari masyarakat kita yang belum siap dengan Kurikulum Merdeka.
Fasilitas pendukung kurikulum yang tidak memadai seperti yang saya sebutkan di awal, kurikulum Merdeka lebih berfokus kepada soft skill tiap anak yang berbeda-beda. Tapi, fasilitas yang disediakan tidak memadai. Sebut saja si A tidak pandai matematika dan bahasa, tapi ia pandai di dunia musik. Adakah sekolah negeri yang menyediakan fasilitas untuk mendukung bakat siswa di bagian musik? Dan masih banyak percontohan lainnya.
Saya rasa, sebelum menetapkan Kurikulum Merdeka ini kita perlu berbenah untuk meningkatkan literasi dan fasilitas terlebih dahulu agar pelaksanaan Kurikulum Merdeka akan menghasilkan seperti yang diharapkan.
Meningkatkan literasi tidak hanya pada siswa, tapi semua kalangan seperti guru, orang tua, juga pemerintah untuk bisa lebih memahami dan menjalankan suatu kebijakan dengan tepat. Serta peningkatan fasilitas yang benar-benar mendukung soft skill tiap anak, ini diperlukan survei dan tinjau lapangan.
Penulis : Isnawati Editor: Muhammad Fahrie
