November 6, 2025
headphones-4223911_1280

Gambar: pixabay

Albanjari.com – Nama Trans7 menjadi viral karena tayangannya yang mengundang pro kontra masyarakat mengenai pandangan terhadap pesantren dan ulama. Tagar #boikotpesantren dan #boikottrans7 pun bertebaran di media sosial. Berbagai pendapat dan hujatan pun saling terlempar.

Saya bukan seorang santri tulen, juga tidak tumbuh di lingkungan pesantren. Menurut saya, ini hanyalah perbedaan dalam pandangan dan fakta yang dilihat. Tidak lepas juga dari kelalaian media sebesar Trans7 yang meliput tanpa survei mendalam dan keseimbangan, bahkan menjadikan obrolan pesantren dan ulama seperti gosip dengan nada julid dan cukup provokator.

Saya mengerti, pandangan negatif masyarakat terhadap pesantren dan ulama tidak lepas karena banyaknya informasi mengenai stigma miring pesantren. Seperti pembullyan, lalu juga pengabdian yang bagi santri adalah suatu tanda hormat kepada ilmu dan guru mereka yang dianggap oleh sebagian orang sebagai eksploitasi anak dan feodalisme.

Maraknya berita miring mengenai pesantren memang tidak bisa diabaikan. Sebut saja kasus pelecehan oleh oknum yang mengaku kiyai, pengajian sholawat yang berubah menjadi tontonan tidak pantas, hingga ‘tokoh agama’ yang tersandung korupsi. Semua ini membuat masyarakat skeptis terhadap apapun yang berbungkus ‘agama’ seolah-olah agama hanya kedok untuk kepentingan pribadi. Dan kecurigaan ini tidak sepenuhnya salah. Dalam hal ini, pesantren dan tokoh agama yang kredibel justru punya tanggung jawab besar untuk ‘membersihkan rumah sendiri’ dan memperbaiki oknum-oknum perusak.

Canggihnya kemajuan zaman mempermudah kita dalam mendapatkan informasi. Namun kiranya, kemudahan ini juga harus diiringi dengan kemampuan mengolah, memilah, dan menyikapi informasi yang didapat dengan bijak. Media adalah salah satu yang menjadi contoh bagi masyarakat.

Seruan #boikotpesantren terjadi karena masyarakat terlebih dahulu melihat kegagalan-kegagalan dalam dunia pesantren dan beberapa ‘ulama gadungan’ yang membuat gaduh. Kasusnya pun berbagai macam, saya mengerti ini menjadi landasan seruan ‘stop eksploitasi anak berkedok berkah’. Di sisi lain, seruan #boikottrans7 dilakukan oleh para santri yang justru tumbuh di dunia pesantren yang ‘sehat’. Feodalisme yang dituduhkan oleh sebagian masyarakat nyatanya tidak mereka rasakan. Bagi mereka, ada hubungan khusus tak kasat mata antara santri, ilmu, dan guru mereka.

Bagi para santri, khidmah kepada kiyai adalah wujud cinta, mengharapkan ridho kiyai, dan mengharapkan ridho Allah dengan berbuat baik kepada kiyai. Karena bagi santri, tanpa kiyai mereka tidak tahu siapa Tuhan mereka. Dalam tradisi Islam, ada kisah yang menggambarkan perbedaan antara ‘keterpaksaan’ dan ‘penghormatan tulus’. Suatu ketika Hasan bin Tsabit didatangi oleh Rasullah dan Rasulullah berkata, “Janganlah berdiri (karena takut) seperti seorang budak didatangi Tuannya.” Hasan bin Tsabit menjawab, “Ini berdiri (karena hormat) ketika seorang pecinta didatangi yanh dicintainya.” Inilah yang para santri rasakan, hormat mereka lahir dari cinta pada ilmu dan guru, bukan dari rasa takut atau terpaksa.

Sebegitu penting sosok kiyai dan guru tidak hanya bagi santri, tapi juga bagi seluruh penuntut ilmu. Bukankah sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? Daripada lelah berdebat dan saling serang, alangkah baiknya kita mencoba untuk bijak memahami dan melihat dari berbagai sisi.

Kiyai dan Pesantren, Guru dan Sekolah, adalah dua hal yang sama-sama patut kita hormati dan kita jaga kelestarian ilmunya.

Hanya karena kamu melihat warna hitam ataupun putih, bukan berarti seluruhnya hitam dan seluruhnya putih. Dunia adalah wadah yang memiliki berbagai sisi, tidak hanya satu warna. Jadi sebelum kita membagikan tagar atau menulis komentar pedas, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya sudah mendengar kedua sisi cerita? Apakah kritik saya membangun atau sekadar ikut-ikutan marah?” Literasi bukan hanya soal bisa membaca, tapi juga bijak dalam menyikapi apa yang kita baca.

Isnawati, Mantan Ketua PAC IPPNU Karang Intan, Kabupaten Banjar


Penulis: Isnawati                                  Editor: Muhammad Fahrie

cropped-Coklat_Hitam_Simpel_Kata_Motivasi_Kiriman_Instagram__16_-removebg-preview
Admin Albanjari