Januari 24, 2025
Ilustrasi, Hukum shalat di atas pesawat. Foto-Istimewa

Ilustrasi, Hukum shalat di atas pesawat. Foto-Istimewa

Oleh: Ustadz Ali Husein
Seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, umat Islam kini dihadapkan pada pertanyaan baru terkait ibadah, salah satunya adalah shalat fardu di pesawat.
Apakah shalat yang dilakukan di udara sah, atau harus diulang setelah tiba di darat?
Pertanyaan ini memunculkan berbagai pandangan ulama, yang akan dibahas secara rinci dalam artikel ini.
Pandangan-pandangan Ulama Tentang Shalat di Pesawat
Sebagian ulama, seperti Sheikh Yusuf al-Dajawi dalam al-Fatawa al-Ja’fariyah dan Sheikh Muhammad al-Amin al-Shinqiti dalam risalah al-Ijabah as-Sadirah fi Shihhat as-Shalah fi ath-Thairah, berpendapat bahwa shalat di pesawat sah dilakukan.
Namun, ulama lain seperti Sheikh Ismail az-Zain dalam risalahnya I’lam az-Zumrah as-Sa’irah bi Tahqiq Hukm ash-Shalah fi ath-Thairah menyatakan bahwa shalat di pesawat tidak sah.
Perbedaan ini didasarkan pada cara istimbat, pemahaman dan dalil yang digunakan masing-masing pihak.
Dalil Pendukung Larangan Shalat di Pesawat
Ulama yang meanggap tidak sah shalat fardhu di pesawat merujuk pada hadis:
‎ “جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا”
(“Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan tempat bersuci”).
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut mereka, hakikat sujud adalah menyentuhkan dahi pada tanah atau benda yang bersambung langsung dengan tanah. Karena pesawat tidak terhubung dengan tanah, mereka berpendapat shalat di pesawat tidak memenuhi syarat ini.
Namun, pandangan ini dianggap tidak valid oleh sebagian ulama lain karena menggunakan konsep mafhum al-laqab (pemahaman dari sebutan khusus), yang tidak dapat dijadikan dasar hukum.
Imam al-Asfahani menyatakan:
‎ “مفهوم اللقب باطل لا يدلُّ على نفي الحكم عمَّا عداه.”
(“Pemahaman dari sebutan khusus (mafhum laqab) tidak menunjukkan penafian hukum pada hal lainnya”).
(Lihat Bayān al-Mukhtaṣar, 2/475)
Hadis tersebut hanya menunjukkan kebolehan bumi sebagai tempat sujud, bukan pembatasan bahwa sujud hanya bisa dilakukan di tanah.
Dalil Pendukung Keabsahan Shalat di Pesawat
Sebaliknya, ulama yang membolehkan shalat di pesawat berpegang pada prinsip :
Kemudahan dalam syariat.
Firman Allah:
‎ “لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا”
(“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”).
(Surat Al-Baqarah: 286)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
‎ “إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ”
(“Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, lakukanlah semampu kalian”).
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika waktu shalat tiba, shalat tetap wajib dilakukan dalam kondisi yang memungkinkan, meskipun berada di pesawat.
Analogi atau Ilhaq kepada Shalat di Kapal dan Ayunan
Pesawat memiliki kesamaan dengan kapal laut dan ayunan. Keduanya adalah tempat yang tidak langsung terhubung ke tanah, tetapi tetap sah digunakan untuk shalat selama syarat dan rukun shalat terpenuhi.
Analogi atau Ilhaq Shalat di Kapal
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang shalat di kapal:
‎ “صَلِّ فِيهَا قَائِمًا إِلَّا أَنْ تَخَافَ الْغَرَقَ”
(“Shalatlah di atas kapal dengan berdiri, kecuali jika engkau khawatir tenggelam”).
(HR. Ad-Daraqutni)
Imam An-Nawawi menjelaskan:
‎ “وتصحّ الفريضة في السفينة الواقفة والجارية… بلا خلاف.”
(“Shalat fardu di kapal, baik dalam keadaan diam maupun bergerak, sah tanpa perbedaan pendapat”).
(Lihat al-Majmu’, 3/241)
Analogi atau Ilhaq kepada Shalat di Ayunan
Imam ar-Ramli menyatakan bahwa shalat di ayunan (urjuhah) sah selama tempatnya stabil:
‎ “ولو صلَّى فرضًا… في زورق أو أرجوحة معلقة بحبال جاز؛ لاستقرار ذلك في نفسه.”
(“Jika seseorang melaksanakan shalat fardu di atas perahu kecil atau ayunan yang digantung dengan tali, maka hal itu sah karena tempat tersebut stabil dalam dirinya”).
(Lihat Nihāyat al-Muḥtāj, 1/434)
Tata Cara Shalat Fardu di Pesawat yang Sah
Dari penjelasan di atas lah Fatwa MUI Kabupaten Banjar No. 17 Tahun 2024 dan hasil Bahstul Masail NU di Pondok Pesantren Darussalam Martapura menyatakan bahwa shalat fardu di pesawat dinyatakan sah tanpa perlu diulang (i’adah) atau diganti (qadha’), asalkan syarat-syarat dan rukun shalat dapat dipenuhi. Berikut tata caranya:
1.Menghadap Kiblat
Penumpang wajib menghadap kiblat sesuai kemampuannya, menggunakan bantuan teknologi seperti kompas atau GPS, atau bertanya kepada kru pesawat. Jika arah pesawat berubah selama penerbangan, shalat tetap dianggap sah selama penumpang berusaha mengikuti arah kiblat sesuai kemampuannya, sebagaimana firman Allah:
‎ “فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ”
(“Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu”).
(Surat At-Taghabun: 16)
2.Melaksanakan Rukun Shalat dengan Sempurna
Jika memungkinkan, shalat dilakukan dengan berdiri, rukuk, dan sujud secara sempurna. Namun, jika kondisi di pesawat tidak memungkinkan untuk melaksanakan rukun-rukun tersebut, penumpang diperbolehkan melakukan gerakan shalat semampunya. Imam An-Nawawi menegaskan:
‎ “إذا صلى الفريضة في السفينة لم يجز له ترك القيام مع القدرة.”
(“Jika seseorang melaksanakan shalat fardu di kapal, maka tidak diperbolehkan meninggalkan berdiri selama ia mampu”).
(Al-Majmu’, 3/242)
3.Berwudhu Secara Sempurna atau Bertayamum
Sebelum shalat, penumpang diwajibkan berwudhu. Jika tidak memungkinkan karena ketiadaan air atau kondisi tertentu di pesawat, bertayamum diperbolehkan sebagai pengganti wudhu, sesuai firman Allah:
‎ “فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا”
(“Jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik”).
(Surat An-Nisa: 43)
Kesimpulan dan Penutup
Shalat adalah tiang agama, yang wajib ditegakkan dalam keadaan apa pun, bahkan di tengah langit yang tak terjangkau kaki. Sebagaimana kapal yang mengarungi samudra, pesawat hanyalah perahu kecil di lautan udara, dan shalat di atasnya tetap sah selama dilakukan dengan kesungguhan memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan.
Perbedaan pandangan ulama terkait sahnya shalat di pesawat menunjukkan kekayaan khazanah fiqih Islam, yang selalu mampu menjawab tantangan zaman. Namun, jalan tengah yang diambil oleh Fatwa MUI Kabupaten Banjar dan Bahstul Masail NU Darussalam Martapura memberikan panduan yang jelas: shalat di pesawat adalah sah, selama dilaksanakan dengan mengikuti arah kiblat semampu mungkin, memenuhi rukun dengan sempurna atau gerakan seadanya, serta diawali dengan wudhu atau tayamum.
Dalam setiap perjalanan, baik di darat, laut, maupun udara, shalat adalah kompas spiritual yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta. Jangan biarkan batas ruang dan waktu memutus komunikasi ini. Karena sejatinya, bumi dan langit hanyalah panggung kecil di hadapan kebesaran Allah, tempat manusia menunaikan kewajibannya sebagai hamba.
Semoga artikel ini menjadi pelita kecil di tengah kebimbangan, membantu umat Islam meluruskan niat dan langkah dalam menjalankan shalat, kapan pun dan di mana pun. Dengan shalat yang benar, perjalanan kita di dunia akan menjadi pijakan untuk terbang lebih tinggi menuju ridha-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *