Februari 7, 2025

Oleh: Wafi Hasbullah

ALBANJARI.COM – Yang terlihat di setiap sudut ruangan itu hanyalah tumpukan buku. Sebagian ada pula yang berjejer. Entah berapa jumlah buku di ruangan itu, yang pasti jumlahnya banyak sekali. Sebab, pemiliknya dikenal sebagai seorang lelaki kutu buku. Kamaluddin Abu Bakar namanya. Seorang ulama yang memiliki kecintaan mendalam terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan ia rela meninggalkan kampung halamannya di Al-Usyuth merantau ke Kairo demi menuntaskan dahaga terhadap ilmu. Ia mengoleksi buku-buku itu untuk ia baca setiap hari, dan juga untuk diwariskan kepada anaknya kelak.

Lelaki tersebut terlihat sedang menikmati kemesraannya dengan baris baris kata yang terabadikan di kertas. Sungguh, baginya ruangan itu bagaikan sepotong surga yang terpendam di rumahnya. Ia dapat menyelami dalamnya lautan ilmu di ruangan tersebut. Sesaat kemudian, matanya melirik ke kiri dan ke kanan, lalu ke seluruh penjuru. Ia terlihat mencari sesuatu. Ia pun terdiam seperti sedang mengingat sesuatu. Tiba-tiba ia memanggil istrinya untuk membawakan sebuah kitab yang sedang dicarinya.

Tak lama berselang, seorang wanita dengan perut besar berjalan mendekat dengan sebuah buku di tangannya. Ia berjalan dengan perlahan dan sangat hati-hati. Wajar saja, ia tidak ingin anak yang sedang dikandung kenapa-kenapa, sebab ia mengira waktu kelahiran anaknya itu tidak lama lagi. Dan benar saja, sebelum menyerahkan buku yang diminta suaminya, ia merasakan mulas di perut. Ia sangat yakin, saat itu anak yang dikandungnya sebentar lagi akan lahir.

Belum sempat sang suami memanggil seseorang untuk membantu persalinan istrinya, tiba-tiba suara tangisan bayi memecah hening. Perpustakaan itu, tumpukan dan jejeran buku yang mengandung berbagai fan ilmu menjadi saksi kelahiran seorang bayi. Dan bayi tersebut dijuluki sebagai “Ibnul Kutub” atau yang berarti anak buku, karena ia terlahir ketika ibunya sedang membawa buku dan di antara tumpukan buku.

Bayi yang lahir di antara buku-buku itulah yang sekarang kita kenal sebagai Imam As Suyuthi. Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakar. Lahir di kota Kairo pada hari Ahad Rajab 849 M. Ayahnya adalah seorang ulama besar yang kutu buku. Namun sayang, ia ditinggal sang ayah wafat ketika usianya menginjak enam tahun. Namun, hal itu tidak memengaruhi aktifitas belajarnya.

Di usia kurang dari delapan tahun ia telah hapal Al Qur’an. Selain itu, ia juga menghapal banyak kitab seperti Al-Umdah, Al Minhaj, Alfiah Ibnu Malik, dan lain lain. Saat berusia tujuh belas tahun ia sudah mendapat lisensi untuk mengajar tata bahasa arab dan di usia itu pula ia menulis kitab yang berjudul Al Istiadzah wal Basmalah. Gurunya, Imam Al-Bulqini memuji karya ini dan memberikan catatan komentar.

Ia juga seorang kutu buku seperti sang ayah. Bukan hanya hobi membaca buku, ia bahkan sangat produktif menulis buku. Dalam kitab Husn Al Muhadharah, ia menyebutkan bahwa karyanya mencapai 300 kitab. Puluhan di antaranya terdiri dari beberapa jilid tebal, dan puluhan di antaranya lagi menjadi pegangan utama di beberapa perguruan Islam terkemuka. Siapa yang tidak kenal kitab Tafsir Jalalain, kitab karya As-Suyuthi tersebut dipelajari hampir di seluruh pesantren di Indonesia.

"Makam

Di usia 40 tahun ia mulai mengasingkan diri untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan kebiasaannya mengajar dan memberi fatwa sembari meminta maaf kepada para murid dan masyarakat. Ia kemudian tinggal di sebuah tempat tersembunyi yang disebut Raudhatul Miqyas. Di tempat itu, selain beribadah, ia juga menulis.

Karena merasa kehilangan, maka banyak orang yang datang berkunjung ke tempatnya membawakan hadiah yang berlimpah. Mulai dari pejabat sampai rakyat biasa. Namun As Suyuthi dengan halus menolak pemberian itu. Bila pun ia mengambilnya, maka itu kemudian ia bagikan kepada orang yang lebih membutuhkan.

“Kalian tidak usah datang membawa hadiah-hadiah ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku kecukupan,” demikian ucapnya.

Begitulah hari demi hari ia jalani. Hingga ketika usianya mencapai 61 tahun, ia mengalami sakit di tangan kirinya dan dirawat di rumahnya di Raudhatul Miqyas selama tujuh hari. Ia pun wafat pada malam Jum’at 19 Jumadil Awwal 911 H, bertepatan dengan tanggal 17 Oktober 1505 M. Saat itu usianya 61 tahun, 10 bulan, 18 hari. Ia dishalati dan diantarkan ke peristirahatan terakhirnya oleh ribuan orang dan dikebumikan di Masjid Asiyuth di samping pusara ayahnya. Hingga saat ini makamnya senantiasa ramai diziarahi.

Referensi

  1. Ulama-Ulama yang menghabiskan hari-harinya untuk membaca, menulis, dan menebarkan cahaya ilmu pengetahuan karya KH. Husein Muhammad.
  2. Bangkitkan Islam, bangkitkan ilmu pengetahuan karya Prof. Laode M. Kamaluddin, PH.D. dan A. Mujib El Shirazy, MA.
  3. Kiat sukses Ulama Salaf dalam mencari ilmu karya Abu Na’im.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *