Syekh Ali Albanjari menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Al-Thalibin.
Di kalangan santri di Indonesia, kitab I’anah Al-Thalibin sangat dikenal. Namun siapa sangka, salah satu juru tulis Syekh Bakri Satha, ternyata seorang syekh keturunan Banjar, Kalimantan.
Syekh keturunan Banjar itu bernama Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. Beliau dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah tahun 1285 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1868 Miladiyah (Masehi), dan tumbuh di dalam keluarga shaleh dan shalehah.
Ayahnya, Syekh Abdullah bin Mahmud Al-Banjari merupakan ulama karismatik di Makkah Al-Mukarramah. Beliau dijuluki dengan julukan Syekh Abdullah Wujud dikarenakan apabila beliau berdzikir, tubuhnya tidak lagi nampak terlihat, melainkan hanya pakaian dan sorbannya saja.
Di dalam keluarganya yang shaleh dan menjunjung tinggi ilmu agama itulah Syekh Ali tumbuh besar, hingga beliau mewarisi kecintaan pada ilmu agama sebagaimana ayah, kakek, dan datuknya yang lebih dulu menjadi ulama besar di zaman mereka.
Syekh Ali Albanjari tak mau menjadi pemutus “nasab emas” keilmuan para leluhurnya. Beliau pun dengan gigihnya menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syekh Said Yamani, Syekh Yusuf Al-Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al-Makki, Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas, Habib Umar bin Salim Al Atthas, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Ahmad Fathani, Syekh Zainuddin Al-Sumbawi dan lainnya.
Dalam ilmu nahwu, sharaf, dan Fiqih Syekh Ali belajar kepada Syekh Abu Bakar Satha, Syekh Said Yamani, dan Syekh Mahfuz Termas (Ulama dari tanah Jawa). Dalam bidang hadits beliau berguru kepada Syekh Said Yamani, Sayyid Husein bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al-Makki. Adapun dalam ilmu falaq, Syekh Ali belajar kepada Syekh Yusuf Al-Khaiyat. Tafsir, kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Dan, mengambil ijazah Thariqah Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin Al-Sumbawi.
Menjadi Juru Tulis Gurunya
Guru dari Syekh Ali, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang hidup pada akhir abad ke-13 H dan permulaan abad ke-14 H. Kala itu, Sayyid Abu Bakar Satha mengajar kitab Fath al-Mu’in karya Al-Allamah Zainuddin al-Malibari, di Masjidil Haram.
Selama mengajar Kitab Fath al-Mu’in, Sayyid Abu Bakar Satha menulis catatan sebagai penjelasan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab Fath al-Mu’in. Catatan-catatan inilah yang kemudian diminta untuk dikumpulkan oleh para sahabat beliau, guna dijadikan sebuah kitab (hasyiyah) untuk memahami Kitab Fath al-Mu’in.
Saat itu, Syekh Ali Albanjari menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Al-Thalibin, syarah dari Kitab Fath al-Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari.
“Kitab asli tulisan tangan beliau itu ada di Sumatra,” kata KH Muhammad bin Husin bin Ali Albanjari.
Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Kitab I’anah Al-Thalibin ini selesai ditulis pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H.
Kitab I’anah Al-Thalibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Al-Imam Al-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif.
Rujukan penyusunan kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumi dan lainnya
Mursyid Thariqah Sammaniyah
Dalam bidang tasawuf, Syekh Ali Albanjari diketahui pernah mengambil ijazah Thariqah Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin Al-Sumbawi, hingga menjadi mursyid dalam thariqah tersebut. Hal ini diketahui berkat adanya catatan silsilah masyayikh (keguruan) Thariqah Sammaniyah yang terdapat nama beliau di dalamnya sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Thariqah Sammaniyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al-Samman Al-Madani. Di antara murid Syekh Muhammad Samman adalah Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. Beliaulah yang membawa thariqah ini ke tanah Banjar, dan mengijazahkannya kepada keluarga dan pengikut beliau. Dari keluarga dan pengikut beliau inilah kemudian thariqah tersebut terjaga hingga sekarang.
Mursyid Thariqah Sammaniyah yang masyhur dari keturunan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari adalah Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Sekumpul). Di antara mata rantai sanad keguruan Syekh Muhammad Zaini dalam bidang Thariqah Sammaniyah ini, terdapat nama Syekh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Berikut perinciannya sanad keguruan dari Syekh Samman hingga Syekh Muhammad Zaini
Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al-Samman Al-Madani, Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, Syekh Syihabuddin Al-Banjari, Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani, Syekh Zainuddin bin Badawi Al-Sumbawi, Syekh Ali bin Abdullah Al-Banjari, Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al-Banjari, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari.
Mengajar di Masjidil Haram
Setelah dinilai guru-gurunya mumpuni dalam bidang keilmuan, Syekh Ali pun diizinkan mengajar di Masjidil Haram dalam mata pelajaran Nahwu, Sharaf, dan Fiqih.
Sejak saat itu pula, rumahnya di Daerah Syamiyah, Jabal Hindi, menjadi tempat tujuan para penimba ilmu. Terlebih, ketika umat Islam seluruh dunia berdatangan untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ibadah haji ini biasanya dimanfaatkan para muslimin untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di tanah haram, tak terkecuali dengan Syekh Ali. Dari sekian banyak murid Syekh Ali Al-Banjari yang datang dari tanah Banjar dan kemudian menjadi ulama besar, di antaranya: KH Zainal Ilmi (Dalam Pagar), Syekh Sya’rani bin Haji Arif (Kampung Melayu), Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan (Bangil, Surabaya), Syekh Seman bin Haji Mulya (Keraton), Syekh Hasyim Mukhtar, Syekh Nasrun Thahir, Syekh Nawawi Marfu’, Syekh Abdul Karim bin Muhammad Amin Al-Banjari (wafat di Makkah).
Berhenti Mengajar di Masjidil Haram
Setelah sekian lama tanah haram hidup tenang, dan Syekh Ali tenang menjalani rutinitasnya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Jazirah Arab dilanda perpecahan. Perang antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz.
Peperangan tersebut tidak hanya berkisar perebutan daerah, tapi juga keyakinan dalam beragama. Kubu Muhammad Su’ud yang membawa keyakinan Wahabi kemudian membuat “onar” di Tanah Haram. Para ulama Ahlussunnah di zaman itu dipanggil, tak terkecuali dengan Syekh Ali.
Sempat terjadi perdebatan sengit antara Syekh Ali dengan ulama Wahabi tentang firman Allah Ta’la, “Yadullah fauqa aidihim”(QS Al-Fath: 10). Ulama Wahabi berpandangan lafaz “Yad” di sana adalah tangan, dan Syekh Ali dengan tegas tidak menerima pandangan Mujassimah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) tersebut. Beliau cenderung dengan pandapat tafsir tentang ayat tersebut yang menyatakan: Bermula kekuasaan itu atas segala kekuasaan mereka itu. Lafadz “Yad” dimaknai Qudrat. Dalam debat itu, beliau menang telak atas ulama Wahabi. Sehingga, Syekh Ali yang tadinya akan dipancung, urung dilaksanakan.
Dalam masa peperangan itu-lah, Syekh Ali Al-Banjari menitipkan anaknya Husin Ali kepada Syekh Kasyful Anwar Al-Banjari untuk dibawa ke tanah Banjar. Syekh Kasyful Anwar adalah sahabat Syekh Ali ketika mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha, yang juga keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Sejak perpecahan itu-lah Syekh Ali Al-Banjari tak lagi mengajar di Masjidil Haram. Namun, beliau masih menerima orang-orang yang datang menemuinya. Baik yang menimba ilmu atau yang hanya meminta doa. Karena nama Syekh Ali tidak hanya besar disebabkan kedalaman ilmunya, tapi juga kemustajaban doanya. Sehingga, banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk didoakan beliau.
Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari wafat di Makkah Al-Mukarromah, Kamis malam (Malam Jum’at) 12 Dzulhijjah 1307 Hijriyah dimakamkan di Mu’alla, Makkah.
Penulis: Muhammad Bulkini
*) pertama kali terbit di koran harian Media Kalimantan