Desember 21, 2024
Foto Iustrasi/net

Foto Iustrasi/net

“Berbahagialah orang yang melarikan diri dari orang-orang, menemani Tuhannya, dan menangisi dosanya”

(Fudhail Bin Iyadh)

(untuk anakku Rabiah Adawiyah, yang lahir titimangsa 20 Juli 2022 di Palangka Raya)

Oleh: Muhammad Iqbal*

Peradaban Islam awal begitu fleksibel. Ia mengambil banyak bentuk sesuai dengan geografi, status, serta latar belakang sosial dan agama umat Islam yang baru dan yang lama.

Kita tidak mungkin bisa mengirim seorang antropolog ke era Umayyah dan Abbasiyah, tetapi sudah diketahui khalayak bahwa umat Islam terdiri dari purparagam komunitas muslim, bukan monolit tunggal yang disatukan oleh rukun iman dan ibadah ritual.

Oleh sebab itu, wajar jika terjadi tingkat ketidakpastian pada level kolektif. Mengingat sifat bukti yang kita miliki, bagaimana kita membayangkan kehidupan pribadi seorang muslim pada zaman itu? Apa saja harapan, pola penalaran, disposisi kognitif dan emosional, dan bagaimana semua ini dimanifestasikan dalam budaya?

Rabi’ah al-Adawiyyah (717-801 M), perempuan suci nan paling masyhur dalam Islam, memungkinkan kita meneroka telatah seseorang dalam mempraktikkan kesalihan dan komitmen psikologisnya: spiritualitas Islam awal.

Komitmen religius Nabi Muhammad saw. mengawali berbagai peristiwa yang kelak mengubah geografi politik dunia Timur Tengah dan Laut Tengah. Walakin, banyak umat Islam yang tidak mampu atau enggan berpartisipasi dalam proyek pemerintahan; mereka hanya menjadi penonton yang apatis, pengamat acuh tak acuh, atau kritikus tebal telinga yang diam-diam menentang atas sebagian perubahan yang terjadi di dunia Islam. Beberapa orang bersedia mengubah kondisi emosi atau psikologisnya, alih-alih menaklukkan atau memerintah dunia. Bagi orang-orang ini, tersedia ruang sosial maupun materi diskursif untuk memperdalam dan menyalurkan alur kehidupan materialnya.

Dengan kata lain, nilai-nilai budaya memungkinkan gaya spiritualitas dan orang-orang yang tertarik dengan hal itu dapat merujuk–dan menghasilkan–pelbagai kisah, teks, narasi, kutipan al-Qur’an dan sunah Rasulullah yang mengungkapkan alur itu dalam istilah yang sangat islami, karena warisan yang dihadirkan umat Islam tentang Muhammad, bukan hanya tentang hukum, reformasi sosial, atau hegemoni religio-politik, melainkan juga tentang mengingat Allah Swt., sembahyang dalam kesendirian, kesemenjanaan, dan bahkan kepapaan. ‘Hai orang-orang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya,” seperti yang dikatakan al-Qur’an 33: 41. Rabi’a tampaknya merepresentasikan tahap awal gaya pertapaan dari spiritualitas Islam.

Akan tetapi,  upaya mewujudkannya ialah proses kolektif dan inkremental. Rabi’a tidak meninggalkan karya tulis apa pun; dia juga bukanlah sosok yang cukup penting pada zamannya untuk menarik perhatian para sejarawan abad ke-9. Selama berabad-abad, sekian banyak mitos, legenda, dan polemik menutupi kenangan lamat-lamat tentang persona asli Rabi’a yang hidup pada abad ke-8, yang mentransformasikan telatah yang tidak jelas menjadi mistik sufi masyhur. Ini merupakan pencapaian yang hebat.

Asketisisme dan mistisme mungkin sering menyatu; tapi, sesungguhnya keduanya tidak harus dikombinasikan. Sufisme juga tidak memonopoli mistisisme dalam tradisi Islam. Secara kronologis, asketisme sudah ada sebelum Sufisme yang anyar dikenal sebagai sebuah gerakan pada akhir abad ke-9 dan ke-10. Bahkan, keberhasilan Sufisme dalam mengukir tempat di masyarakat Islam dalam beberapa hal berdasarkan kesuksesannya dalam mencerminkan kalangan pertapa dari abad ke-8, seperti Rabi’a sebagai Sufi avant la lettre.

Potongan terbesar cerita yang menyampaikan hampir seluruh kehidupan legendaris Rabi’a “dijahit” pada abad ke-12 dan ke-13, dan kehadiran telatahnya dalam sebuah karya yang dikaitkan dengan penulis hagiografi Farid ad-Din al-‘Attar (w. 1221) yang benar-benar mengokohkan posisinya di panteon orang-orang suci Sufi sebagai teladan perempuan suci.

Al-‘Attar menulis karyanya dalam bahasa Persia untuk pembaca Iran dan Asia Tengah, tetapi reputasi Rabi’a tersebar jauh dan luas. Bibi Jamal Khatun, perempuan suci abad ke-17 yang menetap di India barat, “menguasai kondisi dan tahapan yang luhur [istilah-istilah teknis untuk tahapan dalam jalan mistik Sufi], pertapaan dan pengerahan tenaga, dan dalam penolakan dan pelepasan hal-hal duniawi, dia adalah sosok yang unik”. Dia adalah “Rabi’a pada zamannya”, seperti yang dikatakan seorang penulis hagiografi.

Ketenaran Rabi’a juga menyebar ke barat: para pelancong yang berjalan di sekitar Gunung Zaitun di Palestina kadang-kadang menemui makamnya. (Alasannya sepenuhnya menyesatkan. Orang Yahudi dan Kristen dikenal mengklaim makam itu sebagai makam nabi perempuan atau wanita sucinya sendiri dan dalam memasuki khazanah Islam popular, makam itu pertama-tama dikaitkan dengan persona bernama Rabi’a dari Damaskus).

Yang lebih fantastis ialah penggambarannya dalam budaya popular Arab modern. Salah satu film klasik Mesir adalah film biografi Rabi’a, dibintangi oleh Ummu Kultsum, penyanyi Mesir terbesar dari abad ke-20. Untuk beberapa orang yang menulis dalam nuansa feminisme, Rabi’a adalah teladan kemandirian wanita, seorang perempuan yang memiliki hati nurani dan kepercayaan diri untuk menyampaikan kebenaran di hadapan hegemoni laki-laki. Tampaknya, daya pikat personanya tidak pernah pudar.

Jadi, siapakah Rabi’a? Menurut Rkia Elaroui Cornell dalam bukunya Rabi’a From Narrative to Myth: The Many Faces of Islam’s Most Famous Woman Saint, Rabi’a al-‘Adawiyya (Oneworld Academic, 2019), latar belakang etnis dan sosial Rabi’a masih diperdebatkan; beberapa sumber mengatakan dia lahir pada awal abad ke-8 dari keluarga miskin, yatim piatu, dan dijual sebagai budak. Menurut kisah kelahiran yang paling popular, Muhammad muncul dalam mimpi ayahnya, berjanji bahwa putrinya akan berdoa mewakili 70.000 muslim. Kemudian, sebagaimana diperintahkan Rasul saw. untuk mengunjungi gubernur setempat, ayahnya lepas dari jerat kepapaan berkat hadiah ribuan koin dari sang gubernur. Apa yang sesungguhnya terjadi tampaknya tidak begitu eksotis dan lebih masuk akal mengingat status lokalnya.

Menurut perincian biografi paling awal yang masih bertahan hingga kiwari, yang beredar satu atau dua generasi setelah kematiannya, Rabi’a berasal dari garis keturunan keluarga terkemuka suku Quraisy dan seorang perempuan yang terpandang. Tampaknya juga relatif jelas dia hanyalah salah satu dari beberapa perempuan yang cukup terkenal di Basra abad ke-8. Salah satunya ialah Mu’adha, yang “tidak pernah tidur pada siang maupun malam hari karena cuak tidurnya yang terakhir, dan mengenakan pakaian tipis sehingga rasa dingin akan membuatnya tetap terjaga”.

Rabi’a muncul agak terlambat dalam tradisi itu dan tidak jelas mengapa dia memperoleh ketenaran yang tidak dimiliki orang lain. Didirikan sebagai garnisun untuk pasukan Suriah, Basra kala itu berkembang menjadi kota pelabuhan nan makmur, sebagian besar akibat perdagangan yang mengalir ke Irak Selatan. Kota itu pun menjadi pusat pendidikan, terutama dalam pembelajaran syariat, disiplin tata bahasa yang berkait-kelindan erat, dan teologi, serta menjadi mata air kesalihan. Sangat menggoda untuk menyimpulkan bahwa keduniawian kota-kota Islam awal seperti Basra berkontribusi pada kemunculan orang-orang yang memilih untuk meninggalkan keduniawian.

Pelepasan diri–yakni memalingkan diri dari dunia ini untuk fokus kepada Kehidupan Berikutnya–umum ditemui dalam setiap agama, baik monoteis maupun sebaliknya. Walakin, perihal itu cukup popular pada abad ke-8. Kaum pertapa berdoa dan terus-menerus membaca al-Qur’an; mereka melaksanakan puasa yang sangat ketat dan makanan hingga nyaris kelaparan; mereka menghindari kekayaan, terkadang menunjukkan kepapaannya dengan memakai kain lusuh; tergerak oleh rasa cuak akan Tuhan, banyak di antaranya yang bahkan kerap meratap sepanjang hari. Beberapa memisahkan diri dari masyarakat, sementara yang lain berkhotbah di pasar dan di luar masjid; beberapa menjadi saksi bisu atas dosa dan penyimpangan, dan yang lainnya secara aktif menolaknya, memprotes, dan bahkan memberontak. Perihal sama yang dimiliki oleh orang-orang ini ialah tekad untuk melepaskan kekhawatiran dan keterikatan duniawi dan menjadikan diri mereka bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.

“Berbahagialah orang yang melarikan diri dari orang-orang, menemani Tuhannya, dan menangisi dosanya” adalah perkataan yang disandarkan kepada Fudayl bin Iyad, seorang penduduk Makkah yang hidup sezaman dengan Rabi’a. Rabi’a mengaku menyibukkan waktunya di dunia ini dengan meratapi kehidupan akhirat. Sebuah anektot menyatakan bahwa Rabi’a menolak untuk menerima pemberian budak dari anggota keluarganya: aku malu meminta hal seperti itu kepada Tuhan, ujarnya, jadi bagaimana aku bisa memintanya dari mereka? Anekdot liyan menceritakan dia pernah ditanya apakah dia berpikir tindakannya diterima oleh Tuhan; Rabi’a menjawab dengan mengungkapkan rasa cuak bahwa Dia akan menolaknya. Anekdot semacam itu tidak bisa dipastikan kebenarannya, tetapi rasa cuak akan Tuhan bisa dibilang sikap yang banyak ditemui pada umat Islam awal. Setelahnya pada abad ke-9, sikap seperti itu akan mendapatkan kritikan.

Di tangan penulis hagiografi-nya, evolusi Rabi’a dari seseorang yang menolak dunia menjadi Sufi suci dilakukan dengan memperkuat asketisme-nya, menghubungkannya dengan tokoh-tokoh kesalihan Islam, menyebutnya mampu melakukan keajaiban, dan menyandarkan kepadanya kekhawatiran epistemologis dan praktik Sufisme klasik.

Semisal, kita membaca bahwa pasca puasa berhari-hari lamanya, ketergantungannya kepada Tuhan mendorongnya untuk menolak pemberian bawang di supnya; tiba-tiba seekor burung terbang melewatinya, menjatuhkan bawang yang sudah dikupas ke dalam mangkuknya. Rabi’a menanggapi perihal itu dengan makan roti sebagai gantinya.

Kita juga membaca di karya al-‘Attar bahwa ketika Rabi’a mengunjungi Makkah, Kakbah secara ajaib beranjak dan mendekatinya. Andai tidak memiliki lilin atau lentera, dia akan meniup ujung jarinya untuk mengeluarkan cahaya: jari jemarinya akan bersinar sampai fajar. Pergeseran ini–dari persona kharismatik yang konkret dan tidak dikenal banyak orang menjadi pencipta keajaiban–juga dapat diteroka dalam genre hagiografi lainnya, termasuk pelbagai biografi tentang Muhammad.

Potongan puisi dan prosa pujian yang berkelindan dengan Rabi’a mengejawantahkan cintanya kepada Allah kadang-kadang dalam nada emosional yang menggetarkan jiwa, pada lain waktu dengan keakuratan dialek. “Ya Allah, jika aku beribadah kepada-Mu karena cuak neraka, maka bakarlah aku dalam neraka. Jika aku beribadah karena suargaloka-Mu, keluarkan aku dari suargaloka. Namun jika ibadahku adalah demi Engkau semata, maka jangan Kau tutupi aku dari keindahan-Mu yang abadi. Untuk melambungkan pandangannya bahwa cinta dan cuak akan Tuhan seharusnya tidak terinsipirasi oleh keinginan untuk Suargaloka atau rasa cuak akan Neraka, tapi lebih karena persona-Nya, dia membawa obor dan seember air ke mana-mana bersamanya; obor dimaksudkan untuk membakar taman Suargaloka dan ember untuk memadamkan api Neraka. Penafsiran arkaik menangkap syair sebuah puisi pendek yang disebutkan merupakan karya Rabi’a:

 

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta karena diriku,

Dan cinta karena diri-Mu.

Cinta karena diriku

Dalam keadaan senantiasa mengingat-Mu;

Cinta karena diri-Mu agar Engkau bukakan

Hijab bagiku sampai aku melihat-Mu

Bagiku ini bukanlah pujian untukku

Pujian hanya tertumpu pada-Mu.

 

Hasan al-Basri (w. 728) ialah seorang ulama berpandangan luas yang dilahirkan pada era awal Islam dan beberapa mazhab yang muncul kemudian hari, termasuk Sufi, secara retrospektif mengklaim dirinya sebagai salah satu dari golongan Rabi’a. Sebagai sesama warga Basra, Hasan secara alamiah mengikuti penciptaan persona Rabi’a nan suci, telatah yang kontras dengan kesalihannya yang tanpa kompromi. Rabi’a sangat bertolak belakang dengan praktik dan sikap al-Basri yang lebih konvensional: kambing dan kijang berkumpul di sekitarnya, tetapi cuak oleh Hasan karena dia, tidak seperti Rabi’a, makan sup yang dibuat dengan lemak hewani. Dalam percakapan dengan Hasan, masalah gender ditekankan hanya untuk dihapuskan:

 

Syahdan, Hasan al-Basri berkata, “Aku bersama

Rabi’a selama satu siang dan malam penuh. Kami

Membahas Jalan yang Lurus dan Kebenaran dalam cara

sedemikian rupa sehingga pemikiran ‘Saya seorang pria’

Tidak pernah terlintas dalam benak saya, begitu juga

‘Saya seorang wanita’ tidak pernah melintasi pikirannya.

Pada akhirnya ketika saya bangkit, saya menganggap diri

saya sebagai seorang yang miskin dan dia adalah seorang

pengikut yang teguh.”

Arkian, Rabi’a tidak pernah menikah, hidup sebatang kara atau bersama beberapa orang pelayan, salah satunya bernama Maryam, pelayan lainnya bernama ‘Abda. Kaum Sufi biasa berbicara tentang “teman-teman Allah Swt.”, frasa yang berasal dari al-Qur’an 10: 63, sebagai “kekasih Allah Swt.” “Simpul pernikahan”, ujar Rabi’a menanggapi pertanyaan dari Hasan, “hanya bisa mengikat seseorang yang nyata. Dari mana kenyataan itu di sini? Saya bukan milik saya sendiri–saya adalah milik-Nya dan mengikuti-Nya.”

 

Sekadar pustaka:

al-Sulami, Abu ‘Abdurrahman. 1999. Early Sufi Women. terj. [dari Arab]: Rkia Elaroui Cornell. Louisville, Kentucky: Fons Vitae.

Attar, Fariduddin. 2018. Tadzkiratul Auliya: Kisah-Kisah Ajaib dan Sarat Hikmah para Wali Allah. terj. [dari Inggris]: Nadya Andwiani. Jakarta: Zaman.

Bauer, Thomas. 2021. A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam. terj. [dari Jerman]: Hinrich Biesterfeldt & Tricia Tunstall. York Baru: Columbia University Press.

Cornell, Rkia Elaroui. 2019. Rabi’a From Narrative to Myth: The Many Faces of Islam’s Most Famous Woman Saint, Rabi’a al-‘Adawiyya. London: Oneworld Academic.

Robinson, Chase F. 2018. Islamic Civilization in Thirty Lives: the First 1,000 Years. California: University of California Press.

Smith, M. 1994. The life and Work of Rabi’a and Other Women Mystics in Islam. Oxford: Oxford University Press.

 

*Penulis. Menetap di Palangka Raya. Bergiat di Lakpesdam, PWNU Kalimantan Tengah. Buku terbarunya, “Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi” (Tanda Baca Yogyakarta, Mei 2022).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *