Di suatu pagi yang sepi tahun 2017, karena kesibukan tak lagi menghinggapi kami yang baru kena PHK. Saya dapati sebuah status di media sosial dari seorang teman; Alhamdulillah, saya dipanggil kembali bekerja, dan dipercaya sebagai (bla-bla-bla). Kemudian, berhamburan datang jempol dan komentar kesyukuran dari kawan-kawan.
Terus terang, saya bersyukur teman saya dapat pekerjaan. Tapi saya kurang sependapat dengan ulahnya mengungkapkan kesyukuran seperti itu di media sosial. Kegembiraan yang didapatnya telah melupakan derita teman-teman yang lain, yang belum dapat kerjaan.
Dia lupa peduli, bahwa di antara kawan-kawannya banyak yang di-phk, bahkan ada yang sepasang suami istri. Betapa kebingungannya mereka. Dan apakah itu tak sempat dipikirkan kawan yang punya status itu. Saya ingin sekali menegur ulahnya. Tapi saya sadar, siapa saya. Maka, saya urungkan saja niat itu. Toh dalam beberapa waktu, statusnya juga akan tenggelam dengan status-status yang lain. Meski luka yang ditinggalkan tak mudah mengering.
Singkat cerita, status-status “kesyukuran” seperti ini kembali berulang. Tapi bukan dari seorang teman sebelumnya, melainkan dari orang yang mungkin tak pernah bertatap langsung dengan saya. Lihat, betapa kepedulian sudah memprihatinkan di antara kita.
Saya teringat dengan sebuah cerita -yang mungkin pernah kami terbitkan di koran harian, sewaktu masih mengisi di halaman agama-. Begini kurang lebih ceritanya (saya kutip dari tulisan Daris Rajih):
Konon, Syekh Sirri al-Saqathi RA pernah berkata, ”Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan alhamdulillah yang keluar dari mulutku.”
Tentu saja banyak orang menjadi bingung dengan pernyataannya itu lalu bertanya kepadanya, ”Bagaimana itu bisa terjadi?”
Syekh Sirri RA bercerita, ”Saat itu aku memiliki toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api, padahal tokoku berada di pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana untuk memastikan apakah tokoku juga terbakar atau-kah tidak?”
“Seseorang lalu memberitahuku, ‘Api tidak sampai menjalar ke tokomu’ “
“Aku pun mengucapkan, Alhamdulillah! “
Setelah itu terpikir olehku, ”Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Walau pun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar. Ucapanmu (alhamdulilah) menunjukkan engkau bersyukur bahwa api tidak membakar tokomu. Dengan demikian, engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar! “
“Lalu aku pun berkata kepada diriku sendiri lagi, ‘Tidak adakah barang sedikit perasaan sedih atas musibah yang menimpa banyak orang di hatimu, wahai Sirri?’”
Di sini Syekh Sirri menyitir hadits Nabi (SAW), ”Barangsiapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, niscaya bukanlah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin).”
“Sudah 30 tahun saya beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu.”
Cerita itu mestinya mencambuk orang-orang di zaman sekarang, yang mulai abai dengan kepedulian. Bahwa ada banyak orang di luar sana, yang bahkan belum pernah bertemu muka. Lantas, terlukai dengan “status” yang dibuat dengan seenaknya.
Maka, saya berusaha mengingatkan pada diri saya –meski sering terlupa-, bijaklah dalam berkata (menulis) atau bersikap. Karena kita tidak hidup sendiri. Ada manusia lain yang juga punya hati, dan tak ingin terlukai.