Oleh : A. Wafi Hasbullah
ALBANJARI– Bulan Dzulhijjah bagi masyarakat Pamangkih merupakan bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya setiap tahun. Yang demikian karena di bulan itu diperingati haul putra terbaik desa mereka, KH. Mahfudz Amin (Wafat 21 Maret 1995 M usia 82,red), pendiri Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih. Selain itu, hari peringatan haul beliau juga dijadikan momen reuni para alumni PP. Pamangkih.
Langit desa Pamangkih hari itu masih berselimut embun. Jalan desa yang menjadi penghubung Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan Hulu Sungai Utara itu pun masih lengang, namun ribuan orang sudah berkumpul di Pesantren dengan pakaian ala santri tradisional. Sebagian lagi sudah bersiap di sisi jalan. Sekumpulan santri dan ustad itu tengah bersiap untuk melakukan rangkaian acara pertama daripada Haul Abah Mahfudz, yaitu berziarah bersama ke makam pendiri pesantren tempat mereka ditempa itu.
Tubuh kecilku berada di antara kerumunan yang sedang menunggu. Kami tengah menunggu KH. Muchtar, Pimpinan PP. Ibnul Amin Pamangkih sepeninggal Abah Mahfudz. Seperti biasanya, ketika Abah Muchtar berangkat, salah satu ustad akan memberikan instruksi kepada jama’ah untuk mulai berjalan beriringan. Ya, dari pondok pesantren kami berjalan serentak memenuhi tepi jalan. Memanjang hingga ratusan meter.
Tak berapa lama, seorang ustad yang terlihat sudah berumur memberikan isyarat kepada kami untuk mulai berjalan. Lumayan jauh, mungkin sekitar dua kilometer. Dingin pagi yang masih membalut, diimbangi dengan kehangatan perbincangan membuat kaki kami terasa ringan menempuh perjalanan.
Area pemakaman semakin dekat. Ribuan pasang kaki mulai memasuki area makam lalu berkerumun membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut terlihat sebuah makam sederhana penuh bunga dengan hanya nisan yang terbuat dari kayu ulin tanpa kubah seperti kebanyakan makam ulama di Kalimantan.
Sejenak jamaah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Saya yang saat itu masih berstatus santri diam sambil memandangi pusara Abah Mahfudz. Terbayang di pelupuk mata bagaimana kisah keteladanan beliau semasa hidup yang kudengar dari penuturan para ustad dan buku biografi. Adapula para alumni yang menyempatkan berbincang hangat dengan kawan seperjuangan yang lama tidak berjumpa. Suasana yang awalnya riuh seketika senyap. Para jamaah menunduk. Seorang lelaki yang terlihat sudah sepuh dengan jubah abu-abu serta kain serban putih yang melilit kepala melangkah tenang menuju pusara didampingi seorang Habib berbadan tegap dan besar. Lelaki tua itu adalah KH. Muchtar HS, Pimpinan Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih setelah KH. Mahfudz Amin. Ia adalah santri angkatan pertama, sekaligus murid kesayangan Abah Mahfudz. Adapun Habib yang datang bersama beliau, adalah Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan yang diundang untuk mengisi tausiyah di acara puncak.
Abah Muchtar berdiri tepat di samping makam Abah Mahfudz, di sekitarnya berdiri para Habaib, dan ulama. Rangkaian acara ziarah pun dimulai. Yang membaca tahlil adalah KH. Sufian Tsauri. Lc, pengajar di PP. Ibnul Amin Pamangkih. Setelah berakhir pembacaan tahlil, seluruh jamaah memutar badan ke arah qiblat lalu berdo’a bersama dipimpin Abah Muchtar.
Pembacaan do’a pun berakhir. Seperti acara ziarah tahun-tahun sebelumnya, setelah pembacaan do’a, Abah Muchtar akan menceritakan sekelumit kisah teladan dari Abah Mahfudz. Tangannya yang sudah keriput memegang mic. Ia pun mulai bercerita dengan lancar. Sesekali ujung tongkat ditangannya ia angkat menunjuk makam-makam tokoh desa Pamangkih. Ribuan jamaah khidmat mendengarkan cerita beliau, tak terkecuali Habib Ahmad.
Aku pun terpaku menatap wajah berwibawa beliau sembari mendengarkan. Hingga sampai di akhir cerita yang hingga saat ini terekam kuat dalam ingatanku. Ketika itu beliau angkat ujung tongkatnya mengarah sebuah makam persis di atas makam Abah Mahfudz.
“Ini makam KH. Muhammad Ramli. Orang Tua sekaligus guru KH. Mahfudz Amin. Dulu Abah Mahfudz sebelum wafat pernah berwasiat, apabila ia meninggal agar dimakamkan di bawah kaki sang ayahanda.”
Bulu kudukku berdesir mendengar cerita terakhir itu. Merinding dan takjub. Seorang ulama besar yang sangat berpengaruh di Kalimantan, memiliki ribuan santri, namanya harum di seluruh penjuru daerah, hidup penuh kesederhanaan, bahkan dengan kelebihan itu hingga akhir hayat pun ia tetap merendahkan diri, tidak ingin disejajarkan dengan ayah beliau. Jasad kasar yang menemaninya berjuang dalam jalan dakwah itu ia wasiatkan untuk dikebumikan tepat dibawah kaki sang ayah. Duh, aku terpana, tak mampu berkata-kata. Kuperhatikan Habib Ahmad terlihat takjub. Bibirnya terlihat komat kamit seperti mengucap MaysaaAllah. Kepalanya menggeleng-geleng keheranan.
Aduhai, kucoba merenung. Diriku yang bahkan tak ada kelebihan, terkadang masih berani membangkang. Sesekali merasa lebih berpengetahuan dari orang tua yang berjuang mati-matian untuk memberiku ongkos menempuh pendidikan. Wahai engkau, KH. Mahfudz Amin, Mentari pagi yang terbit di desa Pamangkih. Cahayamu menembus sanubari tidak hanya ketika jasad kasarmu masih berada di antara kami, bahkan hingga engkau tak lagi ada di dunia fana ini.
*) Anggota LTN NU Kabupaten Banjar
——————————————————————–
Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.