
Ilustrasi Sendal Jepit (Sumber: Canva/Ahmad Mursyidi)
Albanjari.com, Martapura – Hari Raya Idul Adha 1446 H adalah salah satu momen besar dalam kalender Islam, beberapa hari yang lalu telah meninggalkan kita. Umat Muslim di seluruh dunia memperingati hari agung ini, yang dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban.
Tapi, momen besar ini seharusnya suci dan penuh berkah, ada saja yang menukar sandal orang lain. Ketika mau keluar dari mesjid ternyata sendal sudah raib, terlihat satu sandal tidak ada pemiliknya yang diyakini tertukar atau mirip dengan sandal yang biasa kita pakai.
Masalah tertukarnya sandal di mesjid terdengar sepele, namun dalam pandangan Islam, ini menyentuh aspek penting dalam ajaran agama: hak milik, amanah, dan etika sesama muslim.
Dalam situasi semacam itu, munculah pertanyaan : bolehkah kita mengambil sandal milik orang lain yang tertukar dengan milik kita?
Jawaban seperti ini perlu kita kaji dalam perspektif Al Qur’an, hadist dan kaidah ushul fiqih berikut ini:
1. Prinsip Hak Milik dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan larangan mengambil harta orang lain secara tidak sah:
وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil”
(QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menegaskan bahwa hak milik harus dihormati, sekecil apapun bentuknya termasuk sendal. Walaupun sendal kita hilang atau tertukar, kita tidak boleh begitu saja mengambil sendal yang bukan hak kita tanpa izin pemiliknya.
2. Konsep Amanah dalam Islam
Amanah adalah salah satu nilai agung dalam Islam. Dalam Al Qur’an disebutkan:
وَٱلَّذِينَ هُمْ لِأَمَٰنَٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَٰعُونَ
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8)
Dalam konteks ini, tidak mengambil barang milik orang lain, sekalipun karena tertukar, adalah bentuk menjaga amanah dan adab terhadap hak orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda:
من أخذ مال غيره ظلماً فهو السارق (حَدِيث أَبِي دَاوُد)
Artinya: “Barang siapa mengambil harta orang lain (dengan cara tidak sah), maka ia termasuk pencuri.” (HR. Abu Dawud)
Hadist ini menegaskan bahwa mengambil hak orang lain yang bukan miliknya meskipun diyakini ketukar tapi tidak ada ijin memakainya maka disamakan mencuri dan termasuk dosa besar dalam Islam.
Tindakan seperti ini termasuk zalim dan merugikan bagi orang yang haknya diambil.
3. Tertukar Bukan Alasan Membenarkan
Banyak yang beranggapan, jika sendal hilang atau tertukar, maka mengambil sendal yang mirip adalah hal yang dibolehkan. Namun dalam tafsir etika Islam, ini keliru. Tertukar tidak berarti menjadi halal.
Kehilangan barang bukan alasan untuk mengambil barang orang lain tanpa kejelasan. Rasulullah SAW menekankan pentingnya izin dan kerelaan dalam segala bentuk pengambilan harta:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Artinya: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad)
Hadist ini menekankan pentingnya ridho atau persetujuan pemilik harta setiap kali meminjam. Dengan memakai sendal yang ketukar, kemana kita harus minta izin ?
4. Jika Terpaksa: Apa Solusinya?
Dalam kondisi darurat misalnya jauh dari rumah, hujan dan tidak ada kendaraan. Ulama membolehkan mengambil sementara sendal yang tertukar dengan syarat niat untuk mengembalikannya jika menemukan pemiliknya, melapor kepada pengurus mesjid atau membuat pengumuman, mengganti rugi jika ternyata sendal yang dipakai bukan milik si penukar.
Ini diambil dari kaidah fiqih:
الضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَات
Artinya: “Keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang.”
Namun harus dibatasi dan dipertanggungjawabkan. Mengambil sendal orang lain yang tertukar dengan milik kita tidak diperbolehkan secara mutlak, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan niat serta usaha mengembalikan atau mengganti.
Islam sangat menghargai hak milik dan menanamkan adab yang tinggi dalam bermuamalah, bahkan terhadap barang yang sederhana seperti sendal.
Perkara kecil ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga amanah, adab, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari keimanan.
Sandal itu mungkin hanya benda, tak sebanding dengan nilai-nilai besar dalam Idul Adha. Namun justru karena kesederhanaannya, ia menjadi simbol yang kuat. Idul Adha mengajarkan kita untuk menyembelih sifat-sifat buruk dalam diri seperti egoisme, keserakahan, dan ketidakpedulian terhadap sesama.
Ketika seseorang mengambil sendal orang lain tanpa izin, ia belum sepenuhnya menyembelih nafsunya. Ia masih dikalahkan oleh keinginan sesaat, oleh rasa “tidak apa-apa” yang berulang, padahal itu adalah pengkhianatan terhadap sesama muslim yang baru saja sholat bersamanya.
Sebaliknya, kehilangan sendal ini mengajarkan arti pengorbanan kecil yang tak direncanakan. Berjalan kaki pulang tanpa alas atau menginjak kendaraan tanpa sendal, melintasi jalanan berkerikil dan tanah yang mulai panas, tapi kita merasa justru sedang belajar sedikit tentang makna ikhlas.
Mungkin tahun ini kita tidak menyembelih hewan kurban. Tapi kita berharap, kehilangan sendal ini bisa menjadi pengingat agar kita juga menyembelih sifat marah, prasangka buruk, dan rasa memiliki yang berlebihan terhadap dunia.
Idul Adha bukan soal perayaan mewah, bukan soal pakaian baru, bukan pula soal hewan kurban semata. Ia adalah latihan jiwa. Dan seperti latihan lainnya, kadang kita harus kehilangan sesuatu untuk benar-benar mendapatkan pelajaran.
Sebagai penutup, alangkah baiknya jika ingin pergi ke mesjid dan majelis taklim atau ke tempat manapun yang mengharuskan masuk ruangan melepas sendal maka titipkanlah kepada penitipan sendal atau tempatkan di tempat yang aman.
Atau ketika ingin ke mesjid atau majelis taklim pakailah sendal yang tidak mahal dan bagus seperti sendal jepit murahan atau sendal yang sudah lama dipakai agar orang lain tidak tertarik untuk menukarnya.
Andai tetap juga ketukar karena mungkin orang itu tergesa-gesa maka ikhlaskanlah. Beli sendal baru untuk pulang adalah inisiatif yang baik. Bila tidak punya uang untuk membeli dengan kaki telanjangpun menyusuri jalanan tidak mengapa.
Sendal raib, semoga iman kita tidak ikut hilang.
Penulis : Ahmad Mursyidi
Editor : Muhammad Fahrie






