
Ilustrasi, sumber: darunnajah.com
Oleh: M. Ali Syahbana
Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Kabupaten Banjar
Albanjari.com, Martapura – Dalam kehidupan sehari-hari, ada kebiasaan yang diam-diam dianggap lumrah: berprasangka buruk. Hampir semua orang tahu bahwa prasangka itu dosa, tapi hanya sedikit yang benar-benar merasa bersalah saat melakukannya. Kita sering melontarkan kalimat seperti “sepertinya dia ada maunya”, “saya curiga dia pura-pura baik”, atau “jangan-jangan dia sedang main dua kaki” tanpa data, tanpa klarifikasi. Ironisnya, semua itu kadang terasa seperti hiburan. Seolah-olah curiga itu nikmat. Padahal di sisi lain, prasangka buruk adalah racun yang menggerogoti hati dan menghancurkan hubungan sosial pelan-pelan.
Islam mengajarkan bahwa ibadah bukan hanya soal ritual, tapi juga bagaimana hati dijaga dari penyakit batin. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ…… الآية
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12).
Yang disapa adalah orang beriman, bukan orang lalai. Artinya, betapapun salehnya kita, tetap ada kemungkinan hati ini tergelincir ke dalam sangka buruk. Bahkan orang yang rajin ibadah pun masih terus berjuang melawan kecenderungan menilai orang lain secara negatif.

Sangka baik bukan soal menutup mata, tapi melatih hati agar tidak gampang mencela. Ia bukan hanya sikap diam, tapi keputusan sadar untuk tidak menghakimi orang tanpa alasan yang kuat. Dalam pandangan ulama, sangka baik adalah tanda hati yang sehat. Ketika kita menjaga prasangka baik, bukan berarti kita menolak kenyataan. Kita hanya memilih untuk melihat sisi baik dulu, sebelum menjatuhkan penilaian. Sebab bisa jadi, orang yang kita curigai hari ini justru lebih ikhlas dari kita yang sibuk menilai.
Namun, sangka baik bukan berarti lengah. Islam mengajarkan keseimbangan: hati yang bersih, tapi akal yang waspada. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
لا يلدغ المؤمن من جحر واحد مرتين ( رواه البخارى ومسلم)
Artinya : “Seorang mukmin tidak akan disengat dari satu lubang dua kali.” (HR Bukhari Muslim)
Ini adalah prinsip kehati-hatian. Jika ada orang yang terbukti tidak jujur, kita boleh mawas diri. Kita tidak harus menyebarkan aibnya, tapi juga tidak harus pura-pura percaya sepenuhnya. Sangka baik tidak membutakan, ia membimbing kita untuk tetap adil dan berakal sehat.
Dalam konteks sosial, prasangka buruk bisa merusak kepercayaan antarwarga. Ia menciptakan suasana curiga, bahkan terhadap mereka yang sebenarnya tulus. Akibatnya, masyarakat jadi penuh sekat. Kita tidak saling mengenal, tapi sudah lebih dulu saling menghakimi. Padahal, dalam masyarakat majemuk seperti kita, kepercayaan sosial adalah modal penting untuk membangun kerja sama, persaudaraan, dan ketenangan hidup bersama.
Kadang kita lupa, bahwa cara kita memandang orang lain adalah cermin isi hati kita sendiri. Mungkin kita terbiasa curiga karena terbiasa disakiti. Tapi jangan biarkan luka itu membuat kita kehilangan kemampuan untuk menghargai niat baik. Jangan sampai karena takut tertipu, kita menolak kehadiran orang-orang yang tulus.
Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang mengajarkan kasih sayang, bukan kecurigaan. Maka, mari kita jaga hati kita dari mencela, dan jaga akal kita dari diperdaya. Karena pada akhirnya, menjaga prasangka baik bukan hanya soal adab kepada sesama manusia, tapi juga bentuk tanggung jawab kita sebagai hamba di hadapan Allah Swt.
Editor: Muhammad Fahrie






